Andainya cinta boleh kuberi nama
Maka akan ada namamu disana
Andainya rindu boleh kutitipkan lewat kuntum bunga
Maka tak cukup satu juta bunga membawanya
Maka akan ada namamu di
Andainya rindu boleh kutitipkan lewat kuntum bunga
Maka tak cukup satu juta bunga membawanya
Huuh..aku digombalin lagi.
Masih dengan senyum kemerahan ku tatap lagi biru layar Hpku. Nisa, dia tak berubah sedikit pun. Masih tetap nggodain aku, meski dia tahu aku tidak suka, karena itu membuatku tersipu malu, meruntuhkan egoku.
Belakangan ini Nisa sering mengirim sms berisi puisi. Waktu aku tanya kenapa, dia bilang karena dia cinta. Gedubrakk!! Bagaimana aku tidak tersenyum kemerahan? Tapi, jujur saja. Aku juga cinta.
Ahh...sudah berapa tahun aku berpisah dengan Nisa ? Empat, lima tahun. Aku masih mengenang sosoknya dengan kemeja kotak-kotak lengan panjang yang selalu digulung dan celana jeansnya. Meskipun aku ngomel panjang lebar soal cara berpakaiannya, dia cuma mendengarkan sambil nyengir, dan bilang, Mas tambah ganteng kalo ngomel, dan ucapannya itu sudah cukup membuatku keki, dan berhenti ngomel. Dia memang pintar, tahu kelemahanku. Nisa, kalo boleh jujur, aku juga rindu.
Masih dengan senyum kemerahan ku tatap lagi biru layar Hpku. Nisa, dia tak berubah sedikit pun. Masih tetap nggodain aku, meski dia tahu aku tidak suka, karena itu membuatku tersipu malu, meruntuhkan egoku.
Belakangan ini Nisa sering mengirim sms berisi puisi. Waktu aku tanya kenapa, dia bilang karena dia cinta. Gedubrakk!! Bagaimana aku tidak tersenyum kemerahan? Tapi, jujur saja. Aku juga cinta.
Ahh...sudah berapa tahun aku berpisah dengan Nisa ? Empat, lima tahun. Aku masih mengenang sosoknya dengan kemeja kotak-kotak lengan panjang yang selalu digulung dan celana jeansnya. Meskipun aku ngomel panjang lebar soal cara berpakaiannya, dia cuma mendengarkan sambil nyengir, dan bilang, Mas tambah ganteng kalo ngomel, dan ucapannya itu sudah cukup membuatku keki, dan berhenti ngomel. Dia memang pintar, tahu kelemahanku. Nisa, kalo boleh jujur, aku juga rindu.
"Kak, masa' ada akhwat yang ngirim sms aku kaya gini" kata Adi, adik tingkatku, sambil menyodorkan Hpnya. Ku baca beberapa sms, dari pengirim yang sama. Isinya, puisi sanjungan. Aku tersenyum, jadi ingat Nisa. Sudah dua hari dia tidak sms, kangen juga.
"Gimana, kak?"
"Akhwatnya lagi futur kali, dik. Kamu bales apa?" aku mencoba menjawab searif mungkin.
"Belum aku bales. Makanya aku nanya ama kakaak. Sebenarnya aku bingung kak, mau di tanggapin, tapi hati ini kok gimana gitu rasanya. Udah terlalu banyak materi yang aku dapat semenjak aktif di Rohis dulu. Jadi gimana kak ? Apa dia gak malu apa ya kak !. Tadinya sih, aku fikir, salah kirim. Tapi kok sampai lima kali. Gak mungkin kan kak. Nggak cuma itu kak, dia juga suka missed call tanpa alasan. Malam-malam juga. Mengganggu orang tidur. Uuhh...aku takut khilaf kak ? Aku kan juga manusia. He,e,e,
"Iya, ya. kakak paham. Ya udah istighfar dulu, udah ghibbah...yah, mungkin dia memang salah..."
"Lho, kok kakak mbelain dia sih. Jangan- jangan....haiyo kak ? "
"Aduh, dik..bukan begitu. Kalo mau melihat masalahnya, jangan hanya dari satu sisi saja. Kita sendiri juga harus instropeksi lho. Kenapa dia bisa sms seperti itu ke adik? Mungkinkah..? Yach..afwan"
"Ga papa kak, Aku ngerti maksud kakak. Tapi, seingatku, aku ga pernah berhubungan sama dia. Eh, pernah! Itu juga cuma satu kali, waktu kepanitiaan kemarin. Tapi, waktu itu menurutku hubungannya biasa aja, sama kaya hubungan ikhwan-akhwat lainnya, hubungan karena amanah."
"Alhamdulillah. Yach, kalo gitu diingetin aja, dik. Mungkin dia lagi khilaf. Tapi, pake bahasanya jangan kasar-kasar."
"Iya kak. Aku coba deh, jazakillah kak. Afwan, aku duluan, ada kuliah. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam warahmatullah."
Bagaimana reaksi Adi seandainya dia baca sms Nisa ya? Lucu juga kayanya.Tapi, kalo sama Nisa kan aman. Ga mungkin neko-neko. Nisa, kamu lagi ngapain sekarang? Missed call ah. Eh, nggak mau. Nanti dia bales sms. Kenapa? Kangen ya? Uuhh, kan tengsin. Jatuh deh harga diri.
"Gimana, kak?"
"Akhwatnya lagi futur kali, dik. Kamu bales apa?" aku mencoba menjawab searif mungkin.
"Belum aku bales. Makanya aku nanya ama kakaak. Sebenarnya aku bingung kak, mau di tanggapin, tapi hati ini kok gimana gitu rasanya. Udah terlalu banyak materi yang aku dapat semenjak aktif di Rohis dulu. Jadi gimana kak ? Apa dia gak malu apa ya kak !. Tadinya sih, aku fikir, salah kirim. Tapi kok sampai lima kali. Gak mungkin kan kak. Nggak cuma itu kak, dia juga suka missed call tanpa alasan. Malam-malam juga. Mengganggu orang tidur. Uuhh...aku takut khilaf kak ? Aku kan juga manusia. He,e,e,
"Iya, ya. kakak paham. Ya udah istighfar dulu, udah ghibbah...yah, mungkin dia memang salah..."
"Lho, kok kakak mbelain dia sih. Jangan- jangan....haiyo kak ? "
"Aduh, dik..bukan begitu. Kalo mau melihat masalahnya, jangan hanya dari satu sisi saja. Kita sendiri juga harus instropeksi lho. Kenapa dia bisa sms seperti itu ke adik? Mungkinkah..? Yach..afwan"
"Ga papa kak, Aku ngerti maksud kakak. Tapi, seingatku, aku ga pernah berhubungan sama dia. Eh, pernah! Itu juga cuma satu kali, waktu kepanitiaan kemarin. Tapi, waktu itu menurutku hubungannya biasa aja, sama kaya hubungan ikhwan-akhwat lainnya, hubungan karena amanah."
"Alhamdulillah. Yach, kalo gitu diingetin aja, dik. Mungkin dia lagi khilaf. Tapi, pake bahasanya jangan kasar-kasar."
"Iya kak. Aku coba deh, jazakillah kak. Afwan, aku duluan, ada kuliah. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam warahmatullah."
Bagaimana reaksi Adi seandainya dia baca sms Nisa ya? Lucu juga kayanya.Tapi, kalo sama Nisa kan aman. Ga mungkin neko-neko. Nisa, kamu lagi ngapain sekarang? Missed call ah. Eh, nggak mau. Nanti dia bales sms. Kenapa? Kangen ya? Uuhh, kan tengsin. Jatuh deh harga diri.
tiiit.tiit.tiiit
Hpku berbunyi. Cepat-cepat kuambil HP di dalam tas. Sms. Semoga aja dari Nisa. Ohh, bukan. Undangan rapat. Yachh..kecewa deh. Nisa kenapa ya? Sudah satu minggu, nggak kirim sms atau missed call. Jangan-jangan udah punya yang baru? Yang lebih diperhatikan? Ihh, kok aku jadi gini sih? Apakah itu artinya aku cemburu? Cemburu gara-gara Nisa ? Bisa kubayangkan reaksi Nisa kalo dia tahu. Mungkin sama waktu aku marah, karena dia pergi tanpa pamit ke aku.
Oh, God! Mulai lagi penyakitnya, bikin orang keki. "Eh, siapa yang kangen. Aku cuma nggak enak sama anak-anak. Mereka pada nanyain kamu ke aku. Emangnya aku baby sittermu apa! Trus, si Sari juga nanyain kamu tuh. Katanya kamu ada janji ama dia."
"Ohh.aku tahu." Nisa manggut-manggut sambil tersenyum. Senyum itu. O..o aku tahu arti senyum itu. Aku bakalan dibikin keki. "Cemburu ma Sari ya?" Tuh, kan. Tapi kali ini aku ga mau kalah. "siapa juga yang cemburu. GR amat. Amat aja nggak GR."
"Iye, iye. Nisa salah. Tapi, jangan marah ya. Nisa ga tahu bagaimana menghadapi hidup ini kalo nggak ada kamu Mas. Nisa nggak bisa mbayangin, kalo harus berpisah dengan Mas. Dunia pasti terasa sempit, gelap, dan beku. Nisa akan....bla...bla....bla. Kututup telingaku sebagai tanda protes karena dia mulai mengeluarkan kamus puisinya. Nggomballl!
Hpku berbunyi. Cepat-cepat kuambil HP di dalam tas. Sms. Semoga aja dari Nisa. Ohh, bukan. Undangan rapat. Yachh..kecewa deh. Nisa kenapa ya? Sudah satu minggu, nggak kirim sms atau missed call. Jangan-jangan udah punya yang baru? Yang lebih diperhatikan? Ihh, kok aku jadi gini sih? Apakah itu artinya aku cemburu? Cemburu gara-gara Nisa ? Bisa kubayangkan reaksi Nisa kalo dia tahu. Mungkin sama waktu aku marah, karena dia pergi tanpa pamit ke aku.
Oh, God! Mulai lagi penyakitnya, bikin orang keki. "Eh, siapa yang kangen. Aku cuma nggak enak sama anak-anak. Mereka pada nanyain kamu ke aku. Emangnya aku baby sittermu apa! Trus, si Sari juga nanyain kamu tuh. Katanya kamu ada janji ama dia."
"Ohh.aku tahu." Nisa manggut-manggut sambil tersenyum. Senyum itu. O..o aku tahu arti senyum itu. Aku bakalan dibikin keki. "Cemburu ma Sari ya?" Tuh, kan. Tapi kali ini aku ga mau kalah. "siapa juga yang cemburu. GR amat. Amat aja nggak GR."
"Iye, iye. Nisa salah. Tapi, jangan marah ya. Nisa ga tahu bagaimana menghadapi hidup ini kalo nggak ada kamu Mas. Nisa nggak bisa mbayangin, kalo harus berpisah dengan Mas. Dunia pasti terasa sempit, gelap, dan beku. Nisa akan....bla...bla....bla. Kututup telingaku sebagai tanda protes karena dia mulai mengeluarkan kamus puisinya. Nggomballl!
Dua minggu berlalu, Nisa masih tetap tidak memberi kabar. Akhirnya kuberanikan diri kirim sms. Sekedar menanyakan kabar dan kesibukannya. Tak apalah kalo aku dibikin keki lagi. Daripada aku cuma bengong mikirin dia aja, paling tidak aku melakukan satu tindakan. Toh, tidak ada salahnya kan?
Satu, dua hari berlalu. Nisa tidak membalas smsku. Kenapa? Nisa, apakah kamu baik-baik saja? Jangan-jangan dia sakit lagi. Ingatanku melayang pada sosok tirusnya, ketika dia terpaksa di rawat inap selama dua minggu di rumah sakit, karena maag yang sudah akut, ditambah dengan tifus. Aduh Nisa kamu kemana sih...?
Satu, dua hari berlalu. Nisa tidak membalas smsku. Kenapa? Nisa, apakah kamu baik-baik saja? Jangan-jangan dia sakit lagi. Ingatanku melayang pada sosok tirusnya, ketika dia terpaksa di rawat inap selama dua minggu di rumah sakit, karena maag yang sudah akut, ditambah dengan tifus. Aduh Nisa kamu kemana sih...?
"Nisa, kok bisa sampai begini sih? Kalo butuh bantuan, bilang aja. Jangan semuanya dikerjakan sendiri."
"Minta bantuan Mas?. "
"Tapi, kalo kejadiannya kaya gini. Yang sedih kan kita semua. Kamu memang keras kepala. Tidak pernah mau mendengarkan kata Mas. Kamu selalu pura-pura sehat di depan Mas. Padahal kamu menahan sakit. Iya kan? Kenapa sih Nisa tidak mau berterus terang ke Mas. Apakah Mas tidak pantas untuk.."
"Ssstt." Serentak Nisa menempelkan telunjuknya ke mulutku, dan mengusap aliran bening dari mataku. Masih dalam isakanku, aku berucap lirih, "Mas nggak mau kehilangan Nisa."
"Eh, ngomong apaan sih. Nisa kan masih di sini Mas. Allah masih sayang ama Nisa kok. Mas nggak kehilangan siapa-siapa. I'll be here for u, honey" Nisa, meskipun sakit, dia tetep nggombal.
"Janji ya, kalo kamu merasa tidak sehat, bilang ama Mas. Pokoknya Mas mau maksa Nisa cuti kerja. Ayo, janji." Kusodorkan jari kelingkingku dan Nisa pun segera menautkan kelingkingnya.
"Beruntungnya, Nisa punya Mas, yang selalu mengkhawatirkan keadaan Nisa. Dunia terasa seperti taman surga yang tak mengenal kegelapan. Di mana-mana yang ada hanya....bla....bla...." Kucubit pinggang Nisa karena dia nggombal lagi. Rasain lu.
"Minta bantuan Mas?. "
"Tapi, kalo kejadiannya kaya gini. Yang sedih kan kita semua. Kamu memang keras kepala. Tidak pernah mau mendengarkan kata Mas. Kamu selalu pura-pura sehat di depan Mas. Padahal kamu menahan sakit. Iya kan? Kenapa sih Nisa tidak mau berterus terang ke Mas. Apakah Mas tidak pantas untuk.."
"Ssstt." Serentak Nisa menempelkan telunjuknya ke mulutku, dan mengusap aliran bening dari mataku. Masih dalam isakanku, aku berucap lirih, "Mas nggak mau kehilangan Nisa."
"Eh, ngomong apaan sih. Nisa kan masih di sini Mas. Allah masih sayang ama Nisa kok. Mas nggak kehilangan siapa-siapa. I'll be here for u, honey" Nisa, meskipun sakit, dia tetep nggombal.
"Janji ya, kalo kamu merasa tidak sehat, bilang ama Mas. Pokoknya Mas mau maksa Nisa cuti kerja. Ayo, janji." Kusodorkan jari kelingkingku dan Nisa pun segera menautkan kelingkingnya.
"Beruntungnya, Nisa punya Mas, yang selalu mengkhawatirkan keadaan Nisa. Dunia terasa seperti taman surga yang tak mengenal kegelapan. Di mana-mana yang ada hanya....bla....bla...." Kucubit pinggang Nisa karena dia nggombal lagi. Rasain lu.
Sudah tiga puluh menit aku menunggu Nisa. Huuh, anak itu memang tak pernah belajar soal waktu. Tadi pagi, sehabis subuh, Nisa sms. Katanya mau pulang dari Jogja. Sms tersingkat yang pernah kuterima dari Nisa. Mas jemput Nisa di Terminal jam 10. Hanya satu kalimat itu. Ketika aku balik bertanya, tentang kepulangannya yang mendadak, aku hanya mendapatkan missed call. Tapi, aku sangat senang sekali. Kubayangkan sosoknya yang tinggi kurus dengan rambut cepaknya, memakai kemeja kotak-kotak lengan panjang yang selalu digulung, dan jeans. Nisa, aku rindu.
Satu jam berlalu. Nisa belum juga muncul. Aduuh. Kenapa ya? Apa aku telepon aja? Ah, jangan. Mungkin Nisa masih di jalan. Atau masih berputar-putar di toko, nyari hadiah untukku? Ah, GR amat. Bertemu Nisa saja sudah syukur banget. Nggak perlu pake hadiah segala.
"Assalamualaikum" terdengar suara mengucap salam dari arah belakangku. Nisa? Ah, bukan. Bukan suaranya. Sedikit malas, aku segera menoleh ke belakang.
"Wa'alaikumsalam." Ahh, seorang akhwat. Sepertinya bukan Nisa.
Belum selesai aku meneruskan kalimatku, tiba-tiba si akhwat itu sudah mencium tanganku. Allahu akbar. Gimana ini ? Bagaimana aku bisa menyembunyikan rasa malu ini? Di depan temen-temen ikhwan, saudara-saudara! Siapa sih akhwat ini. Seenaknya saja bikin malu orang.
Aku masih terdiam, karena aku tidak tahu harus berkata apa. Penyakit lama, kalo malu, jadi blank. Aku cuma melihat, sang akhwat tersenyum, dan temen-temenku yang melihat adegan tadi, aku gak tau apa yang mereka pikirkan. Karena aku sendiri gak tau apa yang terjadi ?
” Mas, ini aku Nisa adikmu ? masa lupa sih”.
Allahu akbar Suara ini. Benarkah pendengaranku ini? Aku masih menatap tak percaya sang akhwat. Kuperhatikan dari ujung kepala sampai kaki. Jilbab biru muda, gamis biru kotak-kotak. wajah yang tersenyum itu.
"Bangun, Mas. Ini bukan mimpi kok. Masih nggak percaya? Mau di...."
Begitu aku sadar bahwa akhwat di depanku adalah dia, aku langsung menghambur memeluknya. "Nisa."
Yah, dia adalah Nisa. Adikku yang tomboy telah beganti menjadi seorang akhwat. Subhanallah, akhirnya Kau berikan juga hidayah itu untuk adikku.
Mas, Nisa berhasil. ^_^
Begitu aku sadar bahwa akhwat di depanku adalah dia, aku langsung menghambur memeluknya. "Nisa."
Yah, dia adalah Nisa. Adikku yang tomboy telah beganti menjadi seorang akhwat. Subhanallah, akhirnya Kau berikan juga hidayah itu untuk adikku.
Mas, Nisa berhasil. ^_^