Sebenarnya tidak sedikit ‘orang baik’ di bumi tempat kita tinggal ini. Mereka melakukan pengorbanan besar untuk menolong orang-orang yang kesusahan, yang bernasib tidak seberuntung orang-orang lain. Pengorbanan itu pun kadang tak tanggung-tanggung. Banyak yang tak lagi menghiraukan keinginan dan kelayakan hidup pribadinya, demi untuk mengabdikan diri kepada sesama. Mereka lah sebagian orang yang pantas disebut sebagai ‘pahlawan’.
Sekitar lima tahun yang lalu, semasa kuliah, saya cukup ‘akrab’ dengan berbagai hal yang bersinggungan dengan anak-anak. Terutama mereka yang ‘kebetulan’, dengan sangat menderitanya, mengalami kekerasan. Entah itu dalam keluarga (yang dilakukan oleh orang tua sendiri), maupun yang mereka hadapi di jalanan. Berbagai bentuk tindakan keji yang menjadi ‘makanan sehari-hari’ oleh anak-anak jalanan, misalnya. Semua itu tak pernah hilang dari benak saya. Walau pengetahuan yang saya miliki tentangnya tentu tak sebanding dengan kenyataan yang terus terjadi setiap hari, bertambah, dan terus bertambah. Miris. Tapi memang begitulah adanya.
Saya ingat, ketika bermalam-malam menginap di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta, yang satu-satunya memiliki sub bagian kecil, yang kemudian dinamakan sebagai Pusat Krisis Terpadu. Setiap hari, 24 jam, staf yang hanya sedikit di lembaga tersebut harus menghadapi berbagai ‘kisah’ menyeramkan dari berbagai kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak-anak. Termasuk diri saya, yang pernah menjadi bagian di dalamnya. Korban penipuan, tindak kekerasan, percobaan pemerkosaan, hingga domestic violence yang dilakukan oleh keluarga sendiri, semua itu pernah menjadi ‘teman akrab’ yang menghiasi hari-hari saya. Saat itu saya sadar, bahwa Allah telah memberikan saya kenikmatan yang tak lagi terhitung jumlahnya. Betapa bersyukurnya saya yang tidak (dan semoga tidak akan pernah) mengalami kejadian mengerikan yang para korban tersebut alami.
Bayangkan saja, pagi-pagi sekali, sekitar ba’da subuh, sudah ada yang mengetuk pintu ruangan lembaga itu untuk diperiksa dan menjadi klien pertama. Hingga tengah malam, menjelang pukul tiga, masih saja ada yang mengantri di luar sana untuk mendapat penanganan secepatnya. Non stop. Pemeriksaan satu orang klien tidak bisa dilakukan dalam waktu lima atau sepuluh menit. Setengah jam, itu paling cepat. Sebab penanganan yang dilakukan tidak hanya berupa pemeriksaan medis, melainkan juga konseling dan pemeriksaan kasus yang dilakukan oleh pekerja sosial lembaga, dan konseling psikologis, bila diperlukan. Repot, tetapi memang harus demikian. Seorang korban yang mengalami tindak kekerasan memang tidak bisa hanya ‘ditanggapi’ dengan sekadar memberikan resep obat penyembuh luka fisik. Bagaimana dengan trauma yang akan mengendap lama dalam diri mereka? Bisakah mereka kembali menjalani fungsi sosial mereka dengan baik pasca trauma kekerasan tersebut? Sebuah hal yang seringkali disepelekan, atau minimal tidak mendapatkan fasilitas penanganan yang baik.
Padahal kasus-kasus tersebut tak pernah absen mengantri dan menambah deret panjang permasalahan sosial yang harus diselesaikan.
Bulan pertama saya menjadi bagian dari lembaga itu, setiap harinya minimal ada satu sampai dua kasus, dari mulai pagi hingga malam hari. Tergantung shift mana yang diambil oleh petugas. Sebulan saja bisa menghasilkan hingga tiga puluh kasus, bisa lebih bisa kurang. Namun hingga kira-kira pertengahan tahun 2003, jumlah kasus yang ditangani sudah mencapai 1.000 lebih kasus, dengan pencapaian jumlah kasus sekitar 40 hingga 50 kasus per bulan. Saya masih ingat, ketika saya mengadakan penelitian pada tahun 2002, angka terbesar dari seluruh jenis kasus diraih oleh kasus kekerasan seksual terhadap anak dan remaja. Menakjubkan sekaligus menakutkan. Tetapi janganlah berpuas diri dulu terhadap angka-angka tersebut, sebab itu baru pencapaian dari satu buah lembaga saja. Dan kasus kekerasan ini, banyak dikatakan sebagai ‘gunung es’, yang menyimbolkan bahwa sebagian besarnya ‘mengendap’ di dasar. Alias tidak diketahui secara pasti jumlahnya, yang jelas akan lebih banyak daripada yang ‘tercatat’ atau diketahui.
Lalu bagaimana dengan kesejahteraan para petugas yang menangani seabrek kasus pada lembaga tersebut, dan juga lembaga lainnya yang bergerak dalam bidang yang sama? Tak memadai, seperti yang pasti bisa diduga. Sulitnya mendapatkan donor dan minimnya perhatian pemerintah serta masyarakat luas terhadap permasalahan ini, adalah kenyataan yang mengharuskan lembaga bertahan dengan petugas yang minim, dan pula harus berjaga-jaga, seandainya si petugas memilih untuk keluar dari lembaga dan mencari tempat bekerja yang layak. Namun tak sedikit pula yang tetap bertahan, sambil pandai-pandai mengatur waktu untuk dapat mencari tambahan penghasilan melalui kegiatan lain. Bahkan ada pula yang sambil meneruskan kuliah hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Saya tak bisa membayangkan betapa lelahnya mereka.
Meningkatnya jumlah anak-anak jalanan di ibukota maupun di kota-kota besar lainnya, seperti Bandung dan Yogyakarta, adalah bukan sebuah hal baru. Lembaga-lembaga penanganan anak-anak jalanan pun tumbuh berjamuran di mana-mana. Belum lagi masalah pengentasan buta huruf dan peningkatan pendidikan, yang menjadi inspirasi bagi sebagian praktisi ilmu sosial untuk mendirikan tempat belajar alternatif serta pembinaan dan pengorganisasian masyarakat, seperti yang dilakukan oleh laboratorium dan pusat kegiatan fakultas ilmu sosial di berbagai universitas. Namun tetap saja, kasus-kasus tersebut menggunung dan terus meninggi. Bagaikan tak pernah tersentuh oleh ‘tangan-tangan’ yang peduli dengan nasib mereka. Memang, sungguh sangat sedikit jumlah dari orang-orang yang peduli dan bukan sekadar merasa simpati lalu pergi.
Hal ini memang akan menggelitik untuk menjadi bahan renungan, walau sejenak. Namun mereka yang hari-harinya tak lagi indah dan cerah oleh sebab berbagai kondisi yang menimpa, tak cukup hanya untuk menjadi bahan pikiran saja. Tak sedikit yang kemudian memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan menjerumuskan diri ke dalam ‘kubangan kotor’ jalan mencari uang, menambah deret kriminalitas yang sudah kian tinggi angkanya, atau putus asa dan kemudian bunuh diri.
Hari ini, saya ingin menata kembali hati dan pikiran saya. Mencari-cari di setiap sudut, apakah masih ada kepedulian itu tersimpan di sana. Ataukah sudah terkubur dan usang oleh waktu yang berlalu dari masa saya masih berkecimpung di dunia itu? Dan tak akan saya temukan jawabannya, kecuali bila tangan ini telah terbuka untuk melakukan sesuatu (lagi) untuk mereka. Entah dengan cara apa.
Adakah yang (masih) peduli? Akan nasib dari sekian banyak generasi muda bangsa ini yang telah layu sebelum masanya, oleh sebab berbagai kejadian buruk yang harus mereka hadapi, oleh sebab ketidakpedulian dari kita yang tega membiarkan nasib mereka tersia-sia.
(BungaRampai11)