Cuaca sembab di penghujung petang. Sejak pagi angin bertiup kencang, disertai terbangan debu yang memerihkan mata. Matahari hilang entah ke mana. Aku masih setia duduk menanti trem kota yang membawaku pada tujuan.
Satu jam berlalu, namun trem kota yang menjadi sahabat karibku belum juga muncul. Aku sibuk merapikan syal yang melilit leher rapat-rapat. Dingin semakin membeku. Orang-orang yang senasib denganku hanya beberapa. Mungkin lantaran cuaca muram, orang-orang jadi malas keluar rumah. Kalau bukan hal ihwal mendesak, aku tak keluar pula. Lebih baik berdiam melahap buku-buku atau berselingkup di balik selimut tebal.
Tiba-tiba seorang lelaki muda berusia 30-an mengajak bercakap. Setelah basa-basi sekedarnya, kami terlibat pembicaraan. Aku pikir, di negeri ini basa-basi masih berperan penting. Sehingga, kalau awak tak kuasai barang sedikitpun, tak bakal diperhatikan.
Bukan lantaran aku tertarik pada basa-basinya. Karena bagiku, basa-basi sangat menjemukan. Ia mengisahkan perjalanannya ke negeri-negeri Timur Jauh. Ia mengaku pernah menjenguk Cina, Jepang dan Korea. Banyak hal aku belajar dari mereka. Bangsa-bangsa tadi sangat menghargai waktu dan berdisiplin tinggi. Sehingga satu detik sangat berharga sekali.
Tak seperti trem listrik yang tengah kami nanti. Satu jam lebih berlalu tak terasa. Sedangkan cuaca semakin memburuk. Tak lupa ia menanyakan tentangku. Aku katakan padanya. Ana min Andunisia? Min Jazirah Sumathrah? Biasanya, setiap kukatakan 'Min Sumathrah' selalulah mereka langsung paham. Apalagi dalam pelajaran geografi mereka, jazirah ini pernah disinggung. Apalagi kalau mengingat pengembaraan Ibnu Baitutah yang pernah mencatat kesultanan Islam yang menyerucup di pulau sebesar Inggris tersebut.
Kalau kita menyimak dalam masterpiece 'Rihlah Ibnu Baitutah' antara lain dicatat tentang kesultanan di Aceh. Aku memang belum menamatkan kitab 'Rihlah Ibnu Baitutah' secara tuntas. Cuma, ketika aku menukil selintas, bagaimana sejarawan dan penjelajah Qordova tersebut mencatat setiap hal yang ditemuinya di pulau tersebut. Karena tertawan keindahan pulau itu, ia lantas menyebut "Andalusia fi Syarqiah" (Andalus di Timur). Seorang penjelajah Eropa berkebangsaan Italia, Marcopolo, pernah bertandang ke pulau perca tersebut. Ia juga mencatat setiap peristiwa yang ditemui dan ditulis dalam sebuah buku. Sayangnya, aku belum pernah memiliki bukunya.
Tapi bukan lantaran sejarah yang kami singgung dalam percakapan tadi yang menarik hatiku. "Kadang aku berpikir, aku sudah mendatangi negeri-negeri jauh, namun sekejap pun aku belum pernah mendatangi Baitullah di Mekkah." Aku pikir hanya basa-basinya lagi. Rupanya bukan, dengan penuh keterharuan ia ceritakan harapannya mengunjungi tanah suci tersebut.
"Terus terang aku tidak tahu banyak tentang haji. Kalau kau berbaik hati, di manakah bisa aku dapatkan tentang haji," katanya.
"Kau bisa dapatkan di buku-buku manasik haji, bukankah banyak ulama telah mencucurkan penanya membahas rukun Islam satu ini? Kalau kau tertarik, kau bisa beli karya Syeikh Nashiruddin Albani, Syeikh Abdul Aziz Ibn Baz dan alim-ulama lainnya. Di setiap maktabah, akan kau dapatkan dengan mudah. Insya Allah secara panjang lebar telah dijelaskan alim-ulama itu," ujarku.
"Apakah kau sudah pergi haji?" tanyanya.
"Alhamdulillah, aku sudah menunaikan ibadah haji dua tahun lepas. Tepatnya tahun 2002 lalu."
"Bisa tidak kau kisahkan padaku tentang hajimu? Sungguh, aku sama sekali tak tahu tentang haji. Kalau kau tak keberatan, berceritalah tentang tawaf, hajar aswad, maqam Ibrahim As, Hijr Ismail, Zamzam, sai antara safa-marwah hingga selesai."
Aku pun berkisah tentang ibadah haji panjang lebar. Aku ceritakan semua padanya. Untuk memudahkan bayangannya, aku keluarkan secarik kertas dan pena. Aku terangkan mana posisi Ka'bah, hajar aswad, hijr Ismail, rukun Iraqi, rukun Yamani, maqam Ibrahim dan sebagainya. Ia menyimak dengan tekun.
"Apakah Maqam Ibrahim itu memang benar-benar makamnya?" tanyanya. "Bukan!" ujarku. "Itu hanya bekas telapak kakinya berpijak ketika mendirikan Ka'bah bersama anaknya Ismail a.s. Dulu bekas tapak-tapak dalam bangunan sangat merepotkan bagi jemaah haji yang bertawaf. Seiring pengembangan Masjidil Haram, maka untuk memudahkan jemaah haji yang mau bertawaf, akhirnya jejak-jejak yang membekas dalam batu tersebut diletakkan dalam sekotak kaca beratap yang bisa dilihat dari seluruh penjuru."
Panjang lebar kami membicarakan tentang haji. Tiba-tiba ia bertanya, "Apakah haji membekas padamu?" Aku terdiam beberapa saat, sambil melebarkan daun telinga dan menajamkan pendengaran. "Apa katamu tadi?" tanyaku. "Ya, apakah orang-orang yang sudah menunaikan haji memiliki bekas tersendiri?" tanyanya. Kembali aku terdiam. "Tentang satu ini, maaf, aku tak bisa jawab". Selang sesaat azan maghrib memenuhi langit. "Mohon izin, aku mau ke masjid dulu," kataku.
Habis sholat maghrib, ketika hendak keluar masjid, seorang perempuan muda bertanya padaku, "Di manakah tempat sholat kaum perempuan?" "Di atas sana," kataku, sambil menunjuk pintu masuknya. Hatiku terasa sejuk. Tapi mana lelaki muda, kawan satu tujuanku tadi. Ah, agaknya ia telah pergi bersama trem listrik yang datang saat aku tengah sholat tadi. Sampai akhir pembicaraan tadi, kami tak saling berkenalan. Hanya aku tahu, ia satu tujuan denganku dan kebetulan bertemu di mahattah (halte) yang sama.
Lagi-lagi aku ingat haji. Aku berdoa pada Allah, agar hajiku lalu diterimanya sebagai Hajjan Mabruuran. Agar segala salah silap dosaku diampuni Allah. Biar aku terasa 'dilahirkan' kembali. Agar selanjutnya, hidupku meniti tuntunan-Nya.
Minggu lalu aku baca tulisan guru sastraku yang selalu muncul tiap pekan dengan judul 'Partir' dan 'Sujud' tentang pengalaman hajinya. Tiba-tiba aku ingat lelaki muda tadi. Kawan sepercakapan, namun tak saling kenal.
Besoknya, aku dapat kabar, seorang kawan mudaku tak dapat Paspor dan Visa Hajinya. Sabarlah, Dek!
Ahmad David Kholilurrahman
*Mahasiswa Universitas Al-Azhar-Mesir.
Satu jam berlalu, namun trem kota yang menjadi sahabat karibku belum juga muncul. Aku sibuk merapikan syal yang melilit leher rapat-rapat. Dingin semakin membeku. Orang-orang yang senasib denganku hanya beberapa. Mungkin lantaran cuaca muram, orang-orang jadi malas keluar rumah. Kalau bukan hal ihwal mendesak, aku tak keluar pula. Lebih baik berdiam melahap buku-buku atau berselingkup di balik selimut tebal.
Tiba-tiba seorang lelaki muda berusia 30-an mengajak bercakap. Setelah basa-basi sekedarnya, kami terlibat pembicaraan. Aku pikir, di negeri ini basa-basi masih berperan penting. Sehingga, kalau awak tak kuasai barang sedikitpun, tak bakal diperhatikan.
Bukan lantaran aku tertarik pada basa-basinya. Karena bagiku, basa-basi sangat menjemukan. Ia mengisahkan perjalanannya ke negeri-negeri Timur Jauh. Ia mengaku pernah menjenguk Cina, Jepang dan Korea. Banyak hal aku belajar dari mereka. Bangsa-bangsa tadi sangat menghargai waktu dan berdisiplin tinggi. Sehingga satu detik sangat berharga sekali.
Tak seperti trem listrik yang tengah kami nanti. Satu jam lebih berlalu tak terasa. Sedangkan cuaca semakin memburuk. Tak lupa ia menanyakan tentangku. Aku katakan padanya. Ana min Andunisia? Min Jazirah Sumathrah? Biasanya, setiap kukatakan 'Min Sumathrah' selalulah mereka langsung paham. Apalagi dalam pelajaran geografi mereka, jazirah ini pernah disinggung. Apalagi kalau mengingat pengembaraan Ibnu Baitutah yang pernah mencatat kesultanan Islam yang menyerucup di pulau sebesar Inggris tersebut.
Kalau kita menyimak dalam masterpiece 'Rihlah Ibnu Baitutah' antara lain dicatat tentang kesultanan di Aceh. Aku memang belum menamatkan kitab 'Rihlah Ibnu Baitutah' secara tuntas. Cuma, ketika aku menukil selintas, bagaimana sejarawan dan penjelajah Qordova tersebut mencatat setiap hal yang ditemuinya di pulau tersebut. Karena tertawan keindahan pulau itu, ia lantas menyebut "Andalusia fi Syarqiah" (Andalus di Timur). Seorang penjelajah Eropa berkebangsaan Italia, Marcopolo, pernah bertandang ke pulau perca tersebut. Ia juga mencatat setiap peristiwa yang ditemui dan ditulis dalam sebuah buku. Sayangnya, aku belum pernah memiliki bukunya.
Tapi bukan lantaran sejarah yang kami singgung dalam percakapan tadi yang menarik hatiku. "Kadang aku berpikir, aku sudah mendatangi negeri-negeri jauh, namun sekejap pun aku belum pernah mendatangi Baitullah di Mekkah." Aku pikir hanya basa-basinya lagi. Rupanya bukan, dengan penuh keterharuan ia ceritakan harapannya mengunjungi tanah suci tersebut.
"Terus terang aku tidak tahu banyak tentang haji. Kalau kau berbaik hati, di manakah bisa aku dapatkan tentang haji," katanya.
"Kau bisa dapatkan di buku-buku manasik haji, bukankah banyak ulama telah mencucurkan penanya membahas rukun Islam satu ini? Kalau kau tertarik, kau bisa beli karya Syeikh Nashiruddin Albani, Syeikh Abdul Aziz Ibn Baz dan alim-ulama lainnya. Di setiap maktabah, akan kau dapatkan dengan mudah. Insya Allah secara panjang lebar telah dijelaskan alim-ulama itu," ujarku.
"Apakah kau sudah pergi haji?" tanyanya.
"Alhamdulillah, aku sudah menunaikan ibadah haji dua tahun lepas. Tepatnya tahun 2002 lalu."
"Bisa tidak kau kisahkan padaku tentang hajimu? Sungguh, aku sama sekali tak tahu tentang haji. Kalau kau tak keberatan, berceritalah tentang tawaf, hajar aswad, maqam Ibrahim As, Hijr Ismail, Zamzam, sai antara safa-marwah hingga selesai."
Aku pun berkisah tentang ibadah haji panjang lebar. Aku ceritakan semua padanya. Untuk memudahkan bayangannya, aku keluarkan secarik kertas dan pena. Aku terangkan mana posisi Ka'bah, hajar aswad, hijr Ismail, rukun Iraqi, rukun Yamani, maqam Ibrahim dan sebagainya. Ia menyimak dengan tekun.
"Apakah Maqam Ibrahim itu memang benar-benar makamnya?" tanyanya. "Bukan!" ujarku. "Itu hanya bekas telapak kakinya berpijak ketika mendirikan Ka'bah bersama anaknya Ismail a.s. Dulu bekas tapak-tapak dalam bangunan sangat merepotkan bagi jemaah haji yang bertawaf. Seiring pengembangan Masjidil Haram, maka untuk memudahkan jemaah haji yang mau bertawaf, akhirnya jejak-jejak yang membekas dalam batu tersebut diletakkan dalam sekotak kaca beratap yang bisa dilihat dari seluruh penjuru."
Panjang lebar kami membicarakan tentang haji. Tiba-tiba ia bertanya, "Apakah haji membekas padamu?" Aku terdiam beberapa saat, sambil melebarkan daun telinga dan menajamkan pendengaran. "Apa katamu tadi?" tanyaku. "Ya, apakah orang-orang yang sudah menunaikan haji memiliki bekas tersendiri?" tanyanya. Kembali aku terdiam. "Tentang satu ini, maaf, aku tak bisa jawab". Selang sesaat azan maghrib memenuhi langit. "Mohon izin, aku mau ke masjid dulu," kataku.
Habis sholat maghrib, ketika hendak keluar masjid, seorang perempuan muda bertanya padaku, "Di manakah tempat sholat kaum perempuan?" "Di atas sana," kataku, sambil menunjuk pintu masuknya. Hatiku terasa sejuk. Tapi mana lelaki muda, kawan satu tujuanku tadi. Ah, agaknya ia telah pergi bersama trem listrik yang datang saat aku tengah sholat tadi. Sampai akhir pembicaraan tadi, kami tak saling berkenalan. Hanya aku tahu, ia satu tujuan denganku dan kebetulan bertemu di mahattah (halte) yang sama.
Lagi-lagi aku ingat haji. Aku berdoa pada Allah, agar hajiku lalu diterimanya sebagai Hajjan Mabruuran. Agar segala salah silap dosaku diampuni Allah. Biar aku terasa 'dilahirkan' kembali. Agar selanjutnya, hidupku meniti tuntunan-Nya.
Minggu lalu aku baca tulisan guru sastraku yang selalu muncul tiap pekan dengan judul 'Partir' dan 'Sujud' tentang pengalaman hajinya. Tiba-tiba aku ingat lelaki muda tadi. Kawan sepercakapan, namun tak saling kenal.
Besoknya, aku dapat kabar, seorang kawan mudaku tak dapat Paspor dan Visa Hajinya. Sabarlah, Dek!
Ahmad David Kholilurrahman
*Mahasiswa Universitas Al-Azhar-Mesir.