“Assalamu’alaikum …..” sebuah salam persaudaraan yang berusaha kami biasakan di lingkungan kos, kuucapakan seiiring dengan langkah kakiku ke ruang tamu kos yangkarena ‘saking’ berantakannya sebenarnya tak terlalu layak untuk disebut sebagai ruang tamu. “Wa‘alaikumsalam ” jawab beberapa adik kelasku yang ada di ruang tamu. Rasa capek yang sepulang dari aktivitas rutinku sedikit terobati dengan wajah-wajah ceria dan tentu saja tak ketinggalan, kekonyolan-kekonyolan khas anak kost. Sebuah suasana yang sering sekali kurindukan ketika aku pulang kampung dalam jangka waktu yang agak lama. Melihat papan tulis butut yang terpasang di dekat pintu masuk adalah satu hal yang selalu kulakukan ketika masuk ke kos tercinta ini, siapa tau ada berita penting buatku.
Gemetar rasanya melihat kata-kata yang terangkai di papan tulis kosku. “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, telah meninggal dunia Bp. H…… “. Kata itulah yang tertulis di papan pengumuman kosku. Sering kali ketika mendengar ataupun membaca kalimat tersebut bulu kuduk kita berdiri, sebuah kalimat yang mengingatkan kita akan keniscayaan bagi seluruh makhluk tak terkecuali kita sebagai manusia akan berjumpa dengan Sang Pencipta, sebuah kalimat yang selalu menyadarkan bahwa kita hanya sekedar “mampir ngombe” di dunia ini, sebuah kalimat yang menimbulkan kesadaran bahwa sesungguhnya apa yang ada di bumi ini termasuk kita adalah kepunyaan-Nya.
Penasaran aku oleh informasi yang tak lengkap itu. Bagaimana tidak, di papan tulis hanya tertulis “Bp. H……..”. “Siapa yang meninggal?” kutanya anak-anak yang ada di ruang tamu. “Ga tau mas, tadi mas Yoga yang nulis. Sekarang kayaknya pergi tuh orangnya” jawab Budi, adik kelasku sejurusan. Kucari teman seangkatanku itu, gak ada. Bergegas aku masuk kamar, kutaruh tas di kasur. “Mas, tau nggak yang meninggal siapa?” tanya Ragil, teman sekamarku. “Ga tau aku, emangnya yang meninggal siapa sih” ganti aku bertanya padanya. “Aku juga nggak tau mas, tadi waktu mas Yoga kutanya dia hanya tersenyum, aku takut mas, soalnya nama depan ayahku kan pake huruf H juga” dengan bergetar dia berkata.
Tersentak aku setelah kuperhatikan ada ketakutan di wajah adik kelasku itu. Kubayangkan bagaimana jika ini terjadi padaku, bagaimana seandainya yang tertulis di papan tulis adalah nama ayahku, bagaimana jika yang tertulis di papan tulis adalah nama ibuku, istriku, anakku, bagaimana jika … Aku belum siap jika ini terjadi pada keluargaku, aku belum siap !!! meskipun kuyakin bahwa hal ini adalah suatu keniscayaan bagi makhluk-Nya. Aroma kematian mendadak terasa menyengat di kamarku.
“Siapa yang meninggal ?” tanyaku penasaran pada Yoga. “Jangan kaget ya!” katanya datar sambil menyebutkan sebuah nama. Sontak saja aku kaget mendengar Yoga menyebutkan sebuah nama yang baru saja kukenal. Terbayang olehku sosok seorang mujahid berbadan tegap yang pada pertemuan kami yang terakhir tak menyiratkan tanda-tanda bahwa beliau menderita sakit parah. Malam itu, aku tak bisa memejamkan mata. Setiap kali mecoba untuk memejamkan mata selalu tercium olehku aroma kematian. Makin lama makin menyengat aroma kematian yang tercium. Apakah ini semua pertanda makin dekat dengan ajal ??? sementara aku belum sungguh-sungguh menyambut kedatangan Izrail.
**********
kematian… sebuah keniscayaan yang kan kita alami mari selalau bersiap tuk sambut kedatangannya [Ibnu Yazid, prim_mosl@yahoo.com]
Gemetar rasanya melihat kata-kata yang terangkai di papan tulis kosku. “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, telah meninggal dunia Bp. H…… “. Kata itulah yang tertulis di papan pengumuman kosku. Sering kali ketika mendengar ataupun membaca kalimat tersebut bulu kuduk kita berdiri, sebuah kalimat yang mengingatkan kita akan keniscayaan bagi seluruh makhluk tak terkecuali kita sebagai manusia akan berjumpa dengan Sang Pencipta, sebuah kalimat yang selalu menyadarkan bahwa kita hanya sekedar “mampir ngombe” di dunia ini, sebuah kalimat yang menimbulkan kesadaran bahwa sesungguhnya apa yang ada di bumi ini termasuk kita adalah kepunyaan-Nya.
Penasaran aku oleh informasi yang tak lengkap itu. Bagaimana tidak, di papan tulis hanya tertulis “Bp. H……..”. “Siapa yang meninggal?” kutanya anak-anak yang ada di ruang tamu. “Ga tau mas, tadi mas Yoga yang nulis. Sekarang kayaknya pergi tuh orangnya” jawab Budi, adik kelasku sejurusan. Kucari teman seangkatanku itu, gak ada. Bergegas aku masuk kamar, kutaruh tas di kasur. “Mas, tau nggak yang meninggal siapa?” tanya Ragil, teman sekamarku. “Ga tau aku, emangnya yang meninggal siapa sih” ganti aku bertanya padanya. “Aku juga nggak tau mas, tadi waktu mas Yoga kutanya dia hanya tersenyum, aku takut mas, soalnya nama depan ayahku kan pake huruf H juga” dengan bergetar dia berkata.
Tersentak aku setelah kuperhatikan ada ketakutan di wajah adik kelasku itu. Kubayangkan bagaimana jika ini terjadi padaku, bagaimana seandainya yang tertulis di papan tulis adalah nama ayahku, bagaimana jika yang tertulis di papan tulis adalah nama ibuku, istriku, anakku, bagaimana jika … Aku belum siap jika ini terjadi pada keluargaku, aku belum siap !!! meskipun kuyakin bahwa hal ini adalah suatu keniscayaan bagi makhluk-Nya. Aroma kematian mendadak terasa menyengat di kamarku.
“Siapa yang meninggal ?” tanyaku penasaran pada Yoga. “Jangan kaget ya!” katanya datar sambil menyebutkan sebuah nama. Sontak saja aku kaget mendengar Yoga menyebutkan sebuah nama yang baru saja kukenal. Terbayang olehku sosok seorang mujahid berbadan tegap yang pada pertemuan kami yang terakhir tak menyiratkan tanda-tanda bahwa beliau menderita sakit parah. Malam itu, aku tak bisa memejamkan mata. Setiap kali mecoba untuk memejamkan mata selalu tercium olehku aroma kematian. Makin lama makin menyengat aroma kematian yang tercium. Apakah ini semua pertanda makin dekat dengan ajal ??? sementara aku belum sungguh-sungguh menyambut kedatangan Izrail.
**********
kematian… sebuah keniscayaan yang kan kita alami mari selalau bersiap tuk sambut kedatangannya [Ibnu Yazid, prim_mosl@yahoo.com]