SepercikHikmah - Pascater pilihnya Salim Segaf Al Jufri sebagai ketua Majelis Syura PKS medio 2015 lalu, dinamika internal partai ini menjadi semakin menarik diikuti. Sejak terpilih menjadi pimpinan tertinggi, Salim terlihat ingin kembali menegaskan komitmen partainya untuk memperkuat jati diri sebagai partai dakwah yang bersih, peduli, dan profesional.
Publik pun seolah-olah disuguhkan warna yang baru dari era kepemimpinan Salim. Ketimbang memicu pertikaian internal dengan elemen-elemen partai yang mungkin belum bisa "move on", Salim dan tim memilih melukis dan mewarnai kanvas PKS dengan coraknya sendiri. Ini strategi yang jitu karena partai politik sejatinya selalu menjadi arena pertarungan simbolis antarpihak yang mencoba menyodorkan tafsir atas ideologi partai.
Setiap pihak ingin agar tafsirnya menjadi rujukan. Setiap tafsir mengundang pendukung dan penentang. Oleh karena itu, perubahan warna dari masa ke masa adalah niscaya. Dalam situasi ini, bermain tenang sesuai dengan konstitusi partai adalah pilihan yang paling masuk akal.
Sebagai nakhoda baru, Salim berpandangan bahwa PKS membutuhkan etalase yang selaras dengan brand image partai yang ingin dibangunnya. Bisa dipahami jika pilihan jatuh kepada Mohamad Sohibul Iman untuk memimpin eksekutif partai sebagai presiden PKS. Sosok ilmuwan yang menamatkan sarjana hingga doktor di bidang kebijakan teknologi di Jepang ini awalnya dikenal sebagai akademisi yang tekun berkarier di BPPT pada era BJ Habibie, sebelum menjadi politisi PKS dan menjabat wakil ketua DPR periode yang lalu.
Sohibul Iman adalah sosok yang tampil santun dan sederhana, tapi memiliki gagasan yang berbobot. Gaya komunikasinya yang tenang, runtut, dan tidak meledak-ledak mengingatkan publik kepada pendahulunya di Universitas Paramadina, Nurcholis Madjid. Perjalanan panjang kariernya yang bervariasi, termasuk sebagai mantan rektor Universitas Paramadina, menandakan Sohibul Iman sangat terbiasa bergaul dan menjalin komunikasi lintas partai, kelompok, dan golongan. Kalangan yang dekat dengannya menyebut Sohibul Iman sebagai sosok yang pluralis-berkarakter, mampu bercampur, tapi tetap berbeda.
Dalam situasi yang digambarkan di atas, penanganan kasus Fahri Hamzah bisa dimaknai sebagai upaya untuk menyelaraskan anggota pasukan dengan visi dan misi panglimanya. Hal ini terlihat dari penjelasan resmi DPP PKS atas kronologis munculnya keputusan tersebut.
Baru terungkap, ternyata prosesnya sudah berlangsung sejak tujuh bulan lalu. Inti masalahnya sangat sederhana dan mendasar: Fahri dinilai gagal menyesuaikan diri dengan arah dan kebijakan pimpinan baru.
Dalam beberapa kasus, Fahri terlihat lebih merepresentasikan kepentingan eksternal dibandingkan partainya. Sebagai contoh, Fahri secara terbuka melakukan pembelaan kepada koleganya, Setya Novanto, dalam kasus saham Freeport di saat pimpinan PKS memiliki keputusan yang berbeda. Demikian pula sikap Fahri yang konsisten ingin melemahkan KPK, padahal pimpinan PKS ingin terus memperkuat peran dan fungsi lembaga antirasywah ini.
Tampaknya inilah yang mendorong Ketua Majelis Syura PKS meminta Fahri mundur dari posisinya sebagai wakil ketua DPR, dan mengarahkannya untuk mau dipindahkan ke alat kelengkapan dewan lainnya. Namun, Fahri yang semula menyatakan kesediaannya kemudian berbalik menolak, bahkan melawan keputusan pimpinan secara terang-terangan. Sehingga, prosesnya berujung pada pemberhentian Fahri dari seluruh jenjang keanggotaan partai.
Fahri memang sosok yang fenomenal sekaligus kontroversial. Mungkin publik belum lupa, beberapa tahun yang lalu, Fahri mengemukakan ide untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto. Sisi kontroversial Fahri diperkuat dengan diksinya yang kerap tajam dan menyengat, seperti menyebut Presiden Jokowi "sinting" atau koleganya para anggota dewan "beloon".
Sebagai ikon PKS, tentunya sikap Fahri ini berdampak kepada citra partai di benak publik. Tidak heran jika kesan keras, kontroversial, dan eksklusif lekat dengan wajah lama PKS.
Dalam konteks itulah, Fahri dinilai tidak bisa menjadi representasi wajah baru PKS yang lebih santun, moderat, serta mampu membangun titik temu dan kebersamaan dengan berbagai kalangan. Gaya Fahri yang meledak-ledak, teatrikal, dan kerap memicu konflik, dirasa tidak koheren dengan corak lukisan baru yang ingin dituangkan duet Salim dan Sohibul Iman di atas kanvas PKS hari ini.
Membiarkan Fahri dengan berbagai manuver khasnya seolah membenarkan tesis sejumlah pakar bahwa partai politik rentan terjangkiti problem keagenan yang akut, di mana elite partai kerap tidak merepresentasikan ideologi yang dianut partainya, tetapi menjadi pelayan dari kepentingan lain di luar partai.
Pimpinan PKS dihadapkan pada dua pilihan: Fahri mengubah warnanya atau dicarikan pengganti dengan corak yang lebih pas. Dari kronologi yang berujung pada pemberhentian Fahri, terlihat bahwa pimpinan PKS mengambil opsi yang pertama.
Dalam rentang waktu tujuh bulan, diupayakan proses dialog, komunikasi, mediasi, hingga pemberian kesempatan kepada Fahri untuk membela diri di hadapan mahkamah partai. Namun, kompromi politik antara pimpinan PKS dan Fahri gagal dicapai. Ruang kompromi yang ditawarkan pimpinan partai sepertinya tidak mampu melunakkan sikap "singa" parlemen tersebut.
Pimpinan PKS akhirnya sampai pada keputusan untuk mencari sosok yang lebih tepat merepresentasikan wajah baru PKS sebagai partai dakwah yang cerdas, inklusif, dan mengayomi. Pilihan akhirnya jatuh kepada Ledia Hanifa, satu-satunya perempuan di jajaran anggota legislatif PKS periode ini. Ia dikenal sebagai perempuan PKS yang cerdas dan luwes dalam bergaul sehingga diterima oleh kalangan yang luas, di dalam maupun di luar partai.
Rekam jejaknya cukup konsisten dalam mengangkat soal-soal perlindungan kaum perempuan, ibu dan anak, di samping isu-isu keumatan yang krusial, seperti pengelolaan penyelenggaraan haji dan umrah serta produk halal. Menyodorkan Ledia sebagai wakil ketua Dewan adalah satu lagi keputusan pimpinan baru PKS yang unpredictable, tapi brilian.
Banyak kalangan yang tak pernah menduga PKS akan memberikan ruang dan panggung politik yang luas bagi kader perempuannya. Secara politis, keputusan ini akan mengubah positioning dan brand PKS yang semula dikesankan konservatif-patriarkis menjadi lebih apresiatif terhadap peran politik perempuan.
Dengan wajah barunya ini, PKS sedang memberikan tawaran yang cukup menggairahkan bagi perpolitikan Indonesia. Namun, publik tentunya masih butuh pembuktian. Bagi pimpinan baru PKS, ujian selanjutnya adalah soal konsistensi kebijakan.
Publik perlu diyakinkan bahwa berkhidmat kepada rakyat sebagai partai dakwah yang bersih, peduli, dan profesional adalah komitmen yang diamalkan dengan penuh antusiasme dari waktu ke waktu. Hal itu bukan sekadar jualan politik sesaat, apalagi hanya sebagai political gimmick. Publik merindukan PKS tampil sebagai partai yang bersahaja, tapi berlimpah dengan karya.
Arief Munandar
Doktor Sosiologi Politik dan Organisasi Universitas Indonesia
Sumber: Republika.co.id