Barangkali kondisi ini pernah kita alami, dan sering pula orang ragu-ragu, makan dulu atau shalat dulu? Dalam membahas masalah ini, kita harus mengembalikan kepada dalil-dalil yang kuat dan pemahaman yang sehat, yakni As Sunnah Ash Shahihah dengan pemahaman para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Bukan pemahaman selera pribadi, perasaan dan pikiran sendiri, tanpa merujuk kepada para ulama yang berkompeten dan ahlinya. Ini semua agar kita mendapatkan jawaban yang sesuai petunjuk Al Quran dan As Sunnah. Tergelincirnya sebagian manusia dalam hal ini, dan masalah lainnya, lantaran mereka menyandarkan perkara agama bukan kepada para ulama tetapi kepada individu, tokoh, atau hawa nafsu dan emosi pribadi semata, sehingga mereka membuat keputusan yang salah dan membuat tergekincirnya manusia.
Allah Ta’ala berfirman:
“Maka bertanyalah kepada Ahludz Dzikri jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An Nahl (16): 43)
Siapakah Ahludz Dzikri yang dimaksud oleh ayat yang mulia ini?
Berkata Imam al Qurthubi Rahimahullah dalam kitab tafsirnya:
Berkata Ibnu ‘Abbas: “Ahludz Dzikri adalah Ahlul Quran (Ahlinya Al Quran), dan dikatakan: Ahli Ilmu (ulama), makna keduanya berdekatan.” (Imam al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz. 10, Hal. 108, Ihya’ ats Turats al ‘Arabi, 1985M-1405H. Beirut-Libanon. Al Maktabah Asy Syamilah)
Melalui ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bertanya kepada ulama jika ada perkara yang tidak ketahui.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Jika urusan dikembalikan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.” (HR. Bukhari, Kitab Al ‘Ilmu Bab Man Su’ila ‘Ilman wa Huwa Musytaghilun fi Haditsihi …, Juz. 1, Hal. 103, No hadits. 57. Al Maktabah Asy Syamilah)
Ahlinya agama ini adalah para ulama kita, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menegaskan, jika urusan –termasuk urusan agama- diberikan kepada bukan ahlinya, secara sembarang orang memberikan fatwa dan kesimpulan, maka tunggulah kehancurannya. Dia akan tersesat dan membuat tersesat manusia.
Saat ini, zamannya penuh fitnah. Di antara fitnah tersebut adalah fitnah yang ditimbulkan oleh orang-orang yang oleh nabi dijuluki Ar Ruwaibidhah (orang-orang bodoh namun berlagak mengurus urusan manusia), akhirnya apa yang mereka perbuat bukanlah perbaikan tetapi kerusakan, walau mereka menyangka itu adalah perbaikan.
Dari Abdullah bin Amr bin al Ash Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu begitu saja dari para hambanya, tetapi Dia mencabut ilmu dengan diwafatkannya para ulama, hingga akhirnya tidak tersisa ulama, dan manusia menjadikan tokoh-tokoh yang bodoh, lalu mereka bertanya kepada tokoh-tokoh itu, dan mereka menjawab (berfatwa) tanpa ilmu, maka mereka tersesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari, Kitab Al ‘Ilmu Bab Kaifa Yuqbadhul ‘Ilmu, Juz.1, Hal. 176, No Hadits. 98. Muslim, Kitab Al ‘Ilmu Bab Raf’il ‘Ilmi wa Zhuhur al Jahli wal Fitani fi Akhiriz Zaman, Juz. 13, Hal. 160, No hadits. 4828. Al Maktabah Asy Syamilah)
Apa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam katakan ini sudah terjadi zaman ini, olehkarena itu Imam Muslim membuat Bab dalam kitab Shahih-nya berjudul: Raf’il ‘Ilmi wa Zhuhur al Jahli wal Fitan fi Akhiriz Zaman, yang artinya Dihapusnya ilmu dan Nampaknya Kebodohan dan Fitnah pada Akhir Zaman.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya oleh Abdullah bin Mas’ud:
“Amal apakah yang paling Allah cintai?” Rasulullah menjawab: “Shalat tepat waktu,” Oang itu bertanya: “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Orang itu bertanya lagi: “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah.” (HR. Bukhari, Mawaqitus Shalah Bab Fahdlu Ash Shalah Liwaqtiha, Juz. 2, Hal. 353, No hadits. 496. Muslim, Kitab Al Iman Bab Bayan Kaunil Iman Billahi Ta’ala Afdhalul A’mal, Juz. 1, Hal. 233, No hadits. 120)
Dari sini kita bisa mengetahui keutamaan yang sangat tinggi tentang shalat tepat waktu, bahkan lebih Allah Ta’ala cintai dibanding berbakti kepada kedua orang tua dan jihad fi sabilillah.
Disebutkan dalam Fathul Bari sebagai berikut:
Berkata Ibnu Baththal: “Dalam hadits ini ditegaskan bahwa bersegera shalat pada waktunya merupakan perbuatan paling utama dibanding mengulur-ngulur waktu, karena tepat waktu merupakan syarat amal tersebut menjadi amal yang paling utama, maka ditegakkannya shalat pada waktunya, itulah yang dianjurkan.” (Imam Ibnu Hajar, Mawaqitus Shalah Bab Fahdlu Ash Shalah Liwaqtiha, Juz. 2, Hal. 294, No hadits. 496. Al Maktabah Asy Syamilah)
Makanan Telah Terhidang Ketika Adzan, Apa yang Harus Kita Lakukan?
Dari Ibnu Abi ‘Atiq, dia berkata: “Aku sedang berbincang dengan Al Qasim bin Muhammad di dekat ‘Aisyah, dan Al Qasim adalah laki-laki yang salah pembicaraannya, ‘Aisyah berkata kepadanya: ‘Kenapa kamu ini, janganlah bicara seperti anak saudaraku ini, sesungguhnya saya mengetahui dari mana engkau dapatkan perilaku ini. Dia dibentuk oleh perilaku ibunya, engkau pun dibentuk oleh perilaku ibumu.
” Dia berkata: “Al Qasim marah dan jengkel kepada ‘Aisyah, lalu ketika dia memandang ke meja hidangan, yang telah disediakan oleh ‘Aisyah, dia berdiri, dan ‘Aisyah bertanya; “Mau kemana?, Dia (Al Qasim) menjawab: ‘Mau shalat” Kata ‘Aisyah: “Duduklah!” Dia berkata lagi: “Saya mau shalat.” Kata ‘Aisyah: “Duduklah!” Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidak ada shalat ketika makanan sudah terhidangkan, dan menahan dua hal yang paling busuk (menahan buang air besar dan kencing).” (HR. Muslim, Kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalah Bab Karahah Ash Shalah bi Hadhratith Tha’am…, Juz. 3, Hal. 182, No hadits. 869. Abu Daud, Kitab Ath Thaharah Bab A Yushalli ar rajul wa Huwa Haaqin, Juz. 1, Hal. 126, No hadits. 82. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, Juz. 3, Hal. 73. Al Maktabah Asy Syamilah)
Hadits ini diperkuat oleh hadits berikut:
Dari Ibnu Umar dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika telah dihidangkan makan malam, dan waktu shalat telah datang, maka mulailah makan malam dan jangan tergesa-gesa sampai selesai.” Ibnu Umar pernah dihidangkan makan dan shalat tengah didirikan, namun dia tidak mengerjakannya sampai dia menyelesaikan makannya, dan dia benar-benar mendengar bacaan Imam.” (HR. Bukhari, Kitab Al Adzan Bab Idza Hadhara ath Tha’am wa Uqimat Ash Shalah, Juz.3, Hal. 70, No hadits. 633. Muslim, Kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalah Bab Karahah Ash Shalah bi Hadhratith Tha’am…, Juz.3, Hal. 181, No hadits. 868)
Bagaimana Pandangan Para Imam Kaum Muslimin?
Mereka adalah ahli ilmu yang dari merekalah kita mempercayai kekuatan agumentasi dan analisanya. Saya akan paparkan pandangan para ahli ilmu sejak zaman sahabat hingga zaman setelah mereka.
Imam Bukhari mengutip ucapan seorang sahabat nabi, yakni Abu Darda Radhiallahu ‘Anhu sebagai berikut:
Berkata Abu Darda’: “Di antara kedalaman pemahaman ilmu fiqih seseorang adalah dia menyelesaikan kebutuhannya dahulu hingga datang waktu shalatnya dan hatinya menjadi tenang.”(Shahih Bukhari, Kitab Al Adzan Bab Idza Hadhara ath Tha’am wa Uqimat Ash Shalah, Juz.3, Hal. 70, No hadits. 633)
Imam At Tirmidzi meriwayatkan dari Al Jarud, bahwa Imam Waki’ bin Al Jarrah berkata:
“Hendaknya dia makan malam saja jika dia khawatir karena makanan itu merusak kekhusyu’an shalatnya.” Imam At Tirmidzi berkata: Demikianlah madzhab sebagian Ahli Ilmu dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan yang mengikuti mereka. Mereka memahami bahwa janganlah seseorang shalat sedangkan hatinya sibuk disebabkan sesuatu. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia berkata: “Kami tidak melakukan shalat ketika ada sesuatu dalam diri kami (maksudnya kesibukan mendesak, pen)” (Sunan At Tirmidzi, Kitab Ash Shalah Bab Ma Ja’a Idza Hadhara al ‘Isya wa Uqimat Ash Shalah …, Juz. 2, Hal. 88, No hadits. 321)
Sedangkan Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata tentang hadits di atas:
“Karena, jika dia mendahulukan shalat daripada makan, hatinya akan disibukkan oleh makanan dibanding kekhusyu’an.” (Imam Ibnu Qudamah, Syarh al Kabir, Juz. 1, Hal. 604. Al Maktabah Asy Syamilah)
Berkata Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsuddin Abadi Rahimahullah:
“Dalam hadits-hadits ini menunjukkan dibencinya (makruh) shalat ketika makanan telah tersedia, dan menahan dua hal yang paling busuk (menahan buang air besar dan kecil). Kemakruhan ini menurut mayoritas ulama jika shalat dalam kondisi tersebut saat waktu shalat masih luas. Sedangkan jika waktu shalat sangat sempit, yang jika dia makan, atau buang air besar atau kecil dahulu maka waktu shalat akan habis, maka shalat-lah demi menjaga waktunya, (kondisi demikian) tidak boleh mengundur waktu shalat. Abu Said al Mutawalli menceritakan dari sebagian Imam bermadzhab Syafi’iyah bahwa Asy Syafi’i tidak mau shalat dalam kondisi demikian, bahkan dia tetap makan dan bersuci jika waktu telah habis.
Berkata Imam An Nawawi: “Jika shalat dalam kondisi seperti itu (yakni makanan terhidang dan menahan buang air besar atau kecil) pada waktu masih lapang, maka kemakruhannya rangkap, namun shalatnya tetap sah menurut kami dan mayoritas ulama, hanya saja dianjurkan untuk mengulanginya, namun tidak wajib. ”
Al Qadhi ‘Iyyadh mengutip dari madzhhab Ahluz Zhahir (tekstual) bahwa shalat kondisi seperti itu batal, dan hadits dari Abu Hurairah adalah diriwayatkan secara sendiri oleh penulisnya. (Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsuddin Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 1, Hal. 113, No. 83. Al Maktabah Asy Syamilah)
Bukan hanya Imam Ibnu Hazm Azh Zhahiri yang menyatakan batal, tetapi juga Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’i, juga menyatakan tidak sah shalat orang yang sudah berhadapan dengan makanan, dan menahan buang air, sehingga hal itu membuatnya tidak memahami bacaan shalatnya.
Imam An Nawawi Rahimahullah juga berkata dalam kitab Al Majmu’:
“Dimakruhkan shalat pada saat menahan kencing, buang air besar, kentut, atau ketika makanan sudah tersedia, atau minuman sudah tersedia untuknya. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anhai bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak ada shalat saat makanan tersedia dan ketika menahan dua hal yang paling busuk.” Riwayat Imam Muslim.” (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Juz, 4, Hal. 105. Al Maktabah Asy Syamilah)
Selain itu beliau juga berkata dalam kitabnya yang lain:
“Hadits-hadits ini menunjukkan kemakruhan melaksanakan shalat ketika makanan yang diinginkan telah tersedia, karena hal itu akan membuat hatinya terganggu, dan hilangnya kesempurnaan khusyu’, dan juga dimakruhkan melaksanakan shalat ketika menahan dua hal yang paling busuk, yaitu kencing dan buang air besar. Karena hal ini mencakup makna menyibukkan hati dan hilangnya kesempurnaan khusyu’.” (Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim, Juz. 2, Hal. 321, No hadits. 866. Al Maktabah Asy Syamilah)
Sementara Imam Zainuddin al Iraqi Rahimahullah berkata tentang maksud ‘makanan telah tersedia’:
“Yang dimaksud dengan ‘tersedianya makanan’ adalah telah tersedia didepan si pemakan, bukan dia menghampirinya dan bukan pula (Imam Abdurrahman Mubarakfuri, Tuhfah al Ahwadzi, Juz. 1, Hal. 382, No hadits. 321. Al Maktabah Asy Syamilah)
Imam Malik Radhilallahu ‘Anhu berkata:
“Hendaknya memulai shalat dahulu, kecuali jika memakan makanan ringan.” (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz. 3, Hal. 107. Al Maktabah Asy Syamilah)
Sebab makanan ringan mudah dan cepat diselesaikan, sehingga Imam Malik mendahulukannya. Tetapi jika makanan berat dan banyak, beliau memfatwakan untuk shalat dahulu.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
Berkata Al Khathabi: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk memulai makan hanyalah agar jiwa dapat memperolah kebutuhannya. Sehingga ketika orang yang shalat melakukan shalat dia bisa tenang, dirinya tidak diombang-ambing oleh syahwat terhadap makanan, maka itu disegerakan agar bisa sempurna ruku, sujud, dan semua hak-haknya.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 270. Al Maktabah Asy Syamilah)
Dia juga berkata:
Berkata jumhur (mayoritas) ulama: “Disunnahkan mendahulukan makan dibanding shalat jika waktu masih luas, jika waktunya sempit, maka wajib mendahulukan shalat.” (Ibid)
Nah dari bebagai keterangan para ulama di atas, bisa kita fahami bahwa mayoritas ulama dan para imam kaum muslimin menganjurkan untuk makan dahulu, jika waktu masih luas, namun jika waktu sempit maka lebih baik shalat dahulu. Namun ada pula yang mengatakan, bahwa inti sarinya adalah masalah kekhusyu’an. Jika seseorang bisa menjamin bahwa dirinya tetap tenang walau dia meninggalkan makanan, maka hendaknya dia shalat dahulu. Tetapi bagi yang tidak bisa menjamin dirinya tenang, lebih baik dia makan dahulu. Dan hal ini masing-masing orang tidak sama.
Peringatan:
Permasalahan ini hanya berlaku bagi yang memang tidak disadari dan tidak sengaja, ketika seseorang hendak makan atau sedang makan, ternyata sudah masuk waktu shalat. Ada pun bagi yang menyengaja makan, padahal dia tahu waktu shalat sedikit lagi atau bahkan sudah masuk, maka itulah yang tercela.
Wallahu A’lam
Sumber: faridnuman.com