Kategori

Bertanya Besok Makan Apa Adalah Bentuk Penghinaan Pada Tuhan

By On September 27, 2016

Medianda – Sahabat medianda setiap kehidupan manusia berbeda-beda kondisinya terutama kondisi keuangan. Meski begitu terkadang orang yang pernah posisi keuangannya diatas suatu saat bisa berada dibawah, itulah roda kehidupan. Seperti kisah berikut



Beberapa waktu lalu, keluarga kecil kami ‘ambruk’ hingga keuangan benar-benar habis. Saking habis nya, Jiwo makan nasi cuma sama kecap. Pada puncaknya, sambil menangis, saya marah sama Tuhan. Kenapa Dia yang Maha Kaya tega membiarkan anak saya makan cuma sama kecap?

***

Ambruk ini bukan tanpa alasan. Tepat ketika pindah rumah, kami kena masalah yang betul-betul di luar perkiraan. Uang harus kami keluarkan hingga angka jutaan rupiah dan kami tidak bisa apa-apa selain berusaha ikhlas. Ikhlas melihat rupiah terakhir kami melayang begitu saja tanpa tau kapan dan bagaimana kami bisa mendapat gantinya.

Satu malam, saya memeluk suami demi menghalau rasa lapar. Tinggal pelukan saja yang kami punya. Saya tanya, besok kita mau makan apa? Satu rupiah pun sudah tidak ada.

Suami saya malah senyum. Dia ingat Sujiwo Tedjo, seniman nyeleneh itu pernah bilang “Bertanya besok makan apa adalah bentuk penghinaan pada Tuhan”. Lupa kalimat pastinya, intinya begitu. Trus suami saya nyemprot, kan kamu yang selalu bilang Allah Maha Kaya. Udah tidak punya Allah sampe takut tidak bisa makan gitu?

Atheis Paling Sederhana

Saya diam. Besoknya sambil menatap magic jar, saya nangis. Saya malu banget sama Tuhan. Biarpun tidak ada lauknya, biarpun cuma sama kecap, namun itu magic jar belum pernah kosong. Selalu ada isinya. Saya malu banget sebab nyatanya, saya dan keluarga masih makan. Tuhan tidak pernah satu haripun lupa mengisi tempat nasi kami, tidak pernah satu haripun membiarkan kami kelaparan sampai sakit. Abis nangis saya ngakak, ngapain nangis depan magic jar, mak?

Sorenya, saya bersihin rumah. Inspeksi recehan. Saya kumpulin duit logam yang suka dimainin Jiwo, kembalian-kembalian receh yang suka nyebar di setiap sudut rumah. Saya kumpulin, trus saya ke warung bawa seplastik duit logaman. Dapet setengah batang tempe, 4 butir telur, dan beberapa biji bawang putih.

Tempenya saya bikin sambel bejek, modal cabe bisa metik depan rumah dan bawang putih yang beberapa biji itu. Berasnya boleh ngutang di warung eyang emak (kapan-kapan saya akan cerita tentang beliau, nenek keren, dunia harus kenal!). Jiwo saya dadarkan telur.

Makan malam bertiga. Saya dan suami nasinya dibanyakin biar kenyang, tempenya diirit-irit sebab hanya jadi seuprit. Itu sambel tempe paling nikmat dalam hidup saya. Kami makan sambil ketawa-ketawa, ngetawain hidup, sambil merasakan masakan yang penuh rasa bahagia. Makan malam paling mewah, apalagi liat di piringnya Jiwo selain nasi dan kecap, ada telur dadarnya. Alhamdulillah.

***

Setelah hari itu, saya berhenti marah sama Tuhan. Saya terima dengan senang hati anak saya cuma makan sama kecap, tidak apa-apa, yang penting masih makan. Toh cuma sampai awal bulan, setelah gajian, kami bisa makan apapun lagi. Bisa beli tempe satu batang penuh, tidak perlu setengah. Bisa beli bawang putih satu ons, tidak lagi beberapa biji. Di atas itu semua, keluarga kami masih utuh dan bahagia apapun makannya. Tidak pernah satu kalipun Jiwo protes kenapa di piringnya hanya kecap lagi kecap lagi, dia masih ceria, itu lebih dari cukup.

Kami menjalani hari-hari dengan separuh tawa separuh ngenes, bahagia walau muka harus malu sana sini sebab pinjem uang kemana-mana. Mabok ikan cue 2500 dapet 3 ekor, sebab setiap hari menunya itu lagi itu lagi. Dengan minyak goreng yang sampai hitam karena itulah minyak terakhir yang kami punya.

Tapi kami senang, kami jadi lebih banyak bersyukur untuk hal-hal kecil. Cabe depan rumah tumbuh 2 biji aja, kami syukuri banget. Bisa makan pedes lagi, yes. Nemu bawang sebutir di kulkas, rasanya kayak nemu martabak keju susu toblerone. Duit 2ribu perak di kantong celana, kami kumpulkan demi ikan cue yang setiap hari itu. Dan yang jelas, saya jadi tidak pernah lagi nanya “Besok makan apa?”. Saya tidak pernah lagi khawatir soal rejeki. Karena saya masih percaya Allah, dan Allah saya Maha Kaya. Dia yang belum pernah meninggalkan kami satu haripun.

Sekarang semuanya membaik, Jiwo sudah bisa makan sayur, makan ayam, bahkan foya-foya di warung makan. Tuhan menemani kami melewatinya. Hidup kami sudah berjalan seperti sedia kala. Lebaran qurban kemarin, kami dapat daging sapi satu toples dari ibu. Kami girang banget, seminggu penuh makan daging terus sampai sakit gigi, tidak sedikitpun daging itu tersisa. Rasanya terharu masih bisa makan daging, teringat hari-hari dimana jangankan daging, baunya saja kami jauh sekali. Sekarang kami makan kecap, pakai daging. Semur yang sangat sangat nikmat, alhamdulillah.

Nah sahabat medianda dari kisah diatas semoga kita semua selalu ingat bersyukur kepada Allah Swt, jika kita bersyukur semua akan terasa ringan dan sebaliknya jika kita kufur yang ada hanyalah rasa marah. Semoga bermanfaat dan silahkan share.




Sumber:Islamidia


Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==