Kategori

Menjamak Shalat Karena Harus Dirias Jadi Pengantin Bolehkah? Bagaimana Solusinya Secara Islam? Sebarkan!!

By On Oktober 07, 2016

Medianda – Sahabat medianda mungkin anda pernah mengalami atau mungkin pernah mengetahui hal seperti ini terjadi di acara pernikahan saudara anda, teman anda atau bahkan tetangga anda. Ketika sang pengantin perempuan dirias sang pengantin disuruh menjamak shalatnya.



Menjamak Shalat karena Harus Dirias Jadi Pengantin, Bolehkah? Bagaimana Solusinya Secara Islam ? Pada sharing kali ini yang berjudul Menjamak Shalat karena Harus Dirias Jadi Pengantin, Bolehkah? Bagaimana Solusinya Secara Islam ?, saya telah menyediakan informasi dari awal sampai akhir yang dirangkum dari berbagai sumber. mudah-mudahan isi postingan yang saya tulis ini dapat anda pahami. Baiklah Sahabat, langsung aja ni dia informasinya.

TANYA: Ketika saya menikah, tukang rias menyuruh saya untuk menjamak shalat Ashar dengan Dzhuhur dan shalat Maghribnya dijamak ta’khir dengan Isya’. Dan semua orang nampaknya setuju dengan cara menjamak shalat seperti itu. Katanya dalam keadaan darurat shalat boleh dijamak dan agama Islam itu tidak menyusahkan orang. Benarkah demikian?

JAWAB: Dikutip dari rumahfiqih.com bahwa benar sekali bahwa agama Islam itu memberi kemudahan. Dan salah satu bentuk kemudahan dalam shalat adalah dibolehkannya kita menjamak dua shalat dalam satu waktu. Seluruh ulama sepakat dengan masalah ini.

Namun yang jadi masalah ialah penyebab dari kebolehan menjamak shalat itu sendiri. Ternyata meski memang ada kebolehan menjamak, namun untuk bisa dijalankan harus terpenuhi syarat-syaratnya. Jika syarat kebolehannya belum terpenuhi, maka tidak boleh asal menjamak saja.

Khilafiyah Dalam Kebolehan Menjamak

Dari empat mazhab yang ada memang kita menemukan khilafiyah atau perbedaan pendapat tentang hal-hal apa saja yang membolehkan seseorang menjamak shalat.
Yang disepakati oleh para ulama empat mazhab tanpa sedikitpun perbedaan ialah haji. Maksudnya bahwa seluruh ulama sepakat bahwa jamaah haji saat berada di Arafah dan Mina disyariatkan untuk menjamak shalatnya. Namun selain dari haji, para ulama berbeda pendapat.

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Menurut mazhab ini, satu-satunya hal dimana seseorang menjama’ shalatnya hanya dalam rangkaian ibadah haji, yaitu ketika berada di Arafah dan Mina pada tanggal 9 hingga 12-13 Dzhlhijjah. Alasannya karena satu-satunya hadits yang secara tegas dan lugas menyebutkan shalat jamak hanya ketika Rasulullah SAW berhaji. Selebihnya hanya merupakan asumsi atau dugaan subjektif saja. Belum tentu beliau SAW menjamak shalatnya, tetapi orang-orang menyangka beliau SAW menjamak shalatnya.

Maka dalam pandangan mazhab ini, sekedar bepergian atau menjadi musafir saja, jika bukan dalam rangka haji, tidak dibolehkan untuk menjamak shalat.

Begitu juga mazhab ini tidak membolehkan jamak karena hujan dan sakit. Apalagi cuma gara-gara dirias jadi pengantin, hukumnya haram menjamak shalat karena alasannya sama sekali tidak bisa diterima dan tidak ada dalilnya.

2. Mazhab Al-Malikiyah

Mazhab Al-Malikiyah memiliki enam alasan untuk dibolehkan shalat yang dijamak. Keenamnya adalah safar, hujan, lumpur di kegelapan, sakit, Arafah dan Mudalifah. Kesemuanya disebutkan karena masing-masing ada hadits yang mendasarinya.

Namun di luar keenam hal di atas, mazhab ini tidak membolehkan untuk menjamak shalat. Jika kita perhatikan, tidak ada dari keenam hal di atas yang menyebutkan bahwa shalat boleh dijamak gara-gara pengantin lagi dirias dan takut luntur bedaknya kena air wudhu’.

Mazhab ini pun tidak mencantumkan istilah ‘darurat’ untuk dibolehkannya menjamak shalat. Padahal biasanya para pengantin dan tukang riasnya selalu membawa-bawa senjata ‘darurat’ yang bisa diplintir seenaknya.

3. Mazhab Asy-Syafi’iyah

Mazhab Asy-Syafi’iyah hanya menyebutkan hal-hal yang membolehkan shalat jamak terbatas pada haji, safar dan hujan dengan syarat tertentu.

Sedangkan sakit tidak termasuk hal yang membolehkan untuk menjamak shalat. Artinya orang yang sedang sakit tetap wajib shalat lima waktu dan tetap tidak boleh mengqasharnya juga.

Alasanya, karena tidak ada satu pun hadits yang bisa diterima bahwa Rasulullah SAW pernah menjamak shalat karena sakit. Padahal dalam sirah nabawiyah, bukan hanya sekali dua kali saja beliau mengalami sakit. Namun tidak ada satu pun riwayat yang shahih dan sharih yang menyebutkan bahwa gara-gara sakit kemudian beliau SAW menjamak shalat.

Jika pun ada sebagian orang yang mengatakan bahwa sakit adalah salah satu alasan dari dibolehkannya menjamak shalat, menurut mazhab Asy-Syafi’i dalilnya sangat lemah, karena hanya dibangun di atas asumsi dan bukan fakta. Hadir yang lemah itu bukan lemah dari segi periwayatan melainkan lemah dari sisi istidlal.

Jika sakit saja tidak bisa dijadikan alasan kebolehan menjamak shalat, apalagi sekedar takut bedaknya luntur kena air wudhu’. Tentu lebih tidak boleh lagi dijadikan alasan untuk menjamak shalat alias haram hukumnya.

Menjamak Tanpa Udzur Memang ada satu dua pendapat yang terlalu menggampangkan masalah. Mereka suka meninggalkan shalat begitu saja dengan alasan yang amat sepele dan dikarang-karang sendiri. Misalnya, karena lagi ada meeting lalu shalat dengan enaknya ditinggalkan. Cuma karena lagi nonton di bioskop, shalat Maghrib dilupakan dengan alasan nanti bisa dijamak. Macet tiap hari di jalan pun sering dijadikan alasan untuk meninggalkan shalat.

Seolah-olah apapun kejadian bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan shalat. Padahal sebenarnya cuma karena malas saja. Tetapi kadang kemalasan itu ditutup-tutupi dengan dalil yang dipaksakan. Salah satunya adalah hadits berikut ini :

Nabi SAW pernah menjamak antara Dzhuhr dengan Ashar, dan antara Maghrib dengan Isya, bukan karena takut dan bukan karena hujan.

Kekeliruannya, hadits ini kemudian dijadikan ‘cek kosong’ yang bisa diisi dengan angka berapa saja seenaknya. Gara-gara keliru menafsirkan hadits ini maka keluarlah ‘fatwa’ gadungan yang membolehkan pengantin menjamak shalatnya. Alasanya terlalu sederhana, takut bedaknya luntur terkena air wudhu’. Seolah-olah bedak dan riasan itu jauh lebih tinggi derajatnya daripada shalat lima waktu.

Padahal jika kita merujuk kepada pendapat para ulama salaf yang muktamad, mereka umumnya sepakat bahwa menjamak shalat itu tidak boleh kecuali memang ada udzhur yang syar’i sebagaimana disebutkan di atas. Bila tidak ada udzurnya lalu seseorang menggampangkan begitu saja masalah shalat dengan asal main jamak-jamak saja, maka itulah yang disebut dengan orang yang melalaikan shalat dan celaka.

Di dalam Al-Quran tegas disebutkan bahwa celaka orang yang shalat, yakni mereka yang lalai dari mengerjakan shalat. Salah satunya adalah orang yang menjamak seenaknya tanpa adanya dalil yang qathi.

Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu yang lalai dari mengerjakan shalatnya. (QS. Al-Ma’un : 4-5)

Lalai yang dimaksud bukan tidak khusyu’ dalam shalat, tetapi yang dimaksud dengan lalai disini adalah sengaja meninggalkan shalat hingga terlewat waktunya. Padahal setiap shalat itu sudah ditetapkan waktu-waktunya oleh Allah SWT.

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa : 103)

Di dalam Al-Quran juga disebutkan tentang orang-orang yang disiksa di neraka gara-gara meninggalkan shalat yang sudah ditetapkan.

Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?. Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat (QS. Al-Muddatstsir : 42-43)

Dan orang yang meninggalkan shalat padahal tidak ada udzur syar’i, mereka termasuk orang-orang yang terancam sebagai tarikushshalah atau orang-orang yang sengaja meninggalkan shalat. Dan dosa meninggalkan shalat dengan sengaja bukan dosa yang biasa-biasa dan bukan dosa yang bersifat main-main. Yang terancam adalah status keislamannya. Sebab Rasulullah SAW pernah bersabda :

Antara seseorang dan kekafiran adalah shalat (HR. Muslim) Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat. Siapa yang meninggalkan shalat maka telah kafir. (HR. Tirmizy)

Karena itu kesimpulan dari jawaban ini adalah tidak boleh menjamak shalat hanya karena alasan yang dibuat-buat tanpa dalil yang qath’i. Salah satunya tidak boleh menjamak karena takut riasan pengantin jadi luntur terkena air wudhu’. Tidak boleh berdalil hanya dengan dalil umum yang diibaratkan dengan pasal karet, yang bisa ditarik kesana kesini seenaknya.

Jalan Keluar

Lantas apa solusinya biar shalat tetap dijalankan pada waktunya tetapi riasan tidak luntur? Apakah tayammum saja?

Jawabannya adalah tahan wudhu biar jangan batal. Toh yang jadi masalah cuma masalah wudhu’, sedangkan shalat tetap sah dilakukan meski sudah pakai bedak, yang penting shalatnya dalam keadaan suci dari hadats.

Bagaimana dengan tayammum? Silahkan saja tayammum, tetapi syaratnya jika sudah tidak ada air sama sekali. Selama masih ada air tayammum belum bisa dimainkan. Lagi pula, jika wajah sudah dirias lalu malah tayammum, apa tidak jadi rusak bedaknya karena belepotan kena tanah?

Semoga bermanfaat




Sumber: Redaksimuslim


Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==