Medianda – Sahabat medianda Orang tua member nama kepada anaknya tentu memiliki arti dan tujuan yang baik, namun terkadang ketika sang anak tersebut beranjak dewasa ia justru dipanggil tidak sesuai nama aslinya.
Pepatah mengatakan, “Apalah arti sebuah nama?”. Terpenting adalah perilaku dan sifatnya. Tak masalah jika nama buruk tetapi orangnya baik. Nah, siapa yang pernah mendengar pepatah itu dan meyakininya? Di tengah-tengah masyarakat, kita sering mendengar ungkapan, “Apalah arti sebuah nama” tersebut yang menunjukkan bahwa nama itu tidak terlalu penting bagi seseorang. Padahal, dalam agama Islam, nama itu sangat terkait dengan kepribadian pemilik nama.
Hal ini pernah disampaikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam menyebutkan beberapa kabilah Arab,
أَسْلَمُ سَالَمَهَااللهُ، وَغِفَارُغَفَرَ اللهُلَهَا، وَعُصَيَّةُعَصَتِ اللهَوَرَسُولَهُ
“Aslam semoga Allah mendamaikan hidupnya, ghifar semoga Allah mengampuninya dan ushaiyyah telah durhaka terhadap Allah dan rasul-Nya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Demikian juga dengan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika melihat Sahl bin Amr datang pada hari perjanjian Hudaibiyah, beliau memujinya,
سَهُلَ أَمْرَكُمْ
“Semoga urusan kalian menjadi mudah (Sahl).” (HR. Al-Bukhari)
Lantas, apakah Anda suka memanggil seseorang dengan sebutan buruk? Mulai sekarang berhentilah. Nama adalah doa. Begitu juga panggilan. Islam mengajarkan untuk memberi nama dan gelar yang baik untuk seorang anak. Dengan memanggil seseorang dengan nama yang baik maka kita turut mendokan yang baik pula.
Allah SWT berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al Hujuraat : 11)
“Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri,” yakni janganlah kalian mencela orang lain. Pengumpat atau orang yang mencela adalah orang-orang tercela dan terlaknat sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT berikut, “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela” (QS. Al-Humazah: 1)
Rasulullah SAW pun bersabda,
“Sesungguhnya kalian dipanggil di hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama bapak-bapak kalian. Maka perindahlah nama-nama kalian.” (HR. Abu Dawud)
“Barangsiapa yang berkata pada saudaranya ‘hai kafir’ kata-kata itu akan kembali pada salah satu di antara keduanya. Jika tidak (artinya yang dituduh tidak demikian) maka kata itu kembali pada yang mengucapkan (yang menuduh)”. (HR. Bukhori Muslim)
Dari ayat-ayat dan sabda Rasulullah SAW di atas, Allah SWT melarang memanggil seseorang dengan sebutan buruk yang tentu memiliki arti yang buruk juga. Jadi mulai sekarang berhenti ya manggil julukan buruk dan kasar.
Sahabat medianda oleh karena itulah silakan perhatikan bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menamakan dirinya dengan dua nama yang sesuai dengan makna, berasal dari pecahan kata dasar yang sama, yaitu Muhammad dan Ahmad.
Kata ‘Muhammad’ mengandung sifat yang terpuji, sedangkan ‘Ahmad’ mengandung sifat yang lebih mulia dan lebih utama dibandingkan sifat manusia lainnya. Dengan demikian kaitan antara nama dan orangnya seperti kaitan antara ruh dan jasad.
Contoh lain adalah kun-yah (julukan) Abu Jahal (bapak bodoh) yang diberikan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Abul Hakam bin Hisyam. Sebuah kun-yah yang sesuai dengan orangnya dan ia adalah makhluk yang paling berhak mendapatkan kun-yah ini.
Semoga bermanfaat.
Sumber:Wajibbaca