Apakah Anda sudah yakin bahwa doa buka puasa yang selama ini Anda amalkan sudah benar? Berikut akan kami jabarkan doa buka puasa yang benar.
Mungkin dari kita sudah hafal dengan lafadz doa buka puasa, karena lafadz doa tersebut selalu kita ucapkan dan selalu kita dengar di media penyiaran seperti radio dan televisi tiap bulan Ramadhan. Tak jarang doa buka puasa dan artinya juga ditempel di dinding masjid/musholla.
Namun tahukah Anda? bahwa bacaan doa yang selama ini kita amalkan bukanlah satu-satunya doa berbuka puasa, dan tidak pula doa berbuka puasa tulisan Arab yang paling shahih.
Lalu bagaimanakah lafadz doa buka puasa yang benar itu? Berikut dalam artikel kali ini kita akan membahas tentang doa mau buka puasa yang benar.
Doa Buka Puasa
Dalam kebiasaan masyarakat kita, kita dari kecil sudah diajari oleh orang tua dan guru kita bahwa doa berbuka puasa tulisan Arab adalah sebagai berikut :
اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ
ALLAAHUMMA LAKASUMTU WABIKA AAMANTU WA'ALAA RIZQIKA AFTHORTU BIROHMATIKA YAA ARHAMAR ROOHIMIIN
Artinya : "Ya Allah, kerana-Mu aku berpuasa, dengan Mu aku beriman, kepadaMu aku berserah dan dengan rezekiMu aku berbuka (puasa), dengan rahmat MU, Ya Allah Tuhan Maha Pengasih".
Namun ternyata doa buka puasa dan artinya diatas tidaklah benar, karena doa tersebut bersumber dari hadits yang lemah atau dhaif.
Adapun doa tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no. 2358 secara mursal atau tanpa adanya perawi sahabat di atas tabi’in, dari Mu’adz bin Zuhrah.
Sementara Mu’adz bin Zuhrah merupakan seorang tabi’in, yaitu orang Islam awal yang hidup setelah para sahabat Nabi dan otomatis tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad. Sehingga hadits yang berasal darinya dinilai mursal atau hadits tersebut terputus sanadnya.
Doa tulisan buka bersama diatas juga dinilai dhaif oleh Al-Albani, sebagaimana tertera di Dhaif Sunan Abu Daud 510 dan Irwaul Gholil, 4:38.
Hadits serupa juga dikeluarkan oleh Ath-Thobroni dari Anas bin Malik. Akan tetapi sanadnya terdapat perawi dhaif yaitu Daud bin Az-Zibriqon, yang merupakan seorang perawi matruk atau perawi yang dituduh berdusta.
Al-Hafidz ibnu Hajar berkata,
وَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ فِيهِ دَاوُد بْنُ الزِّبْرِقَانِ ، وَهُوَ مَتْرُوكٌ
Artinya : “Sanad hadis ini dhaif, karena di sana ada Daud bin Az-Zibriqon, dan dia perawi matruk.” (At-Talkhis Al-Habir, 3:54).
Jika demikian, lalu bagaimanakah lafadz doa buka puasa dan artinya yang benar sesuai sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Dari Ibnu Umar radiallahu ‘anhuma, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: ذَهَبَ الظَّمَـأُ، وابْــتَلَّتِ العُرُوقُ، وثَــبَتَ الأَجْرُ إِن شَاءَ اللهُ
Artinya : "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila beliau berbuka, beliau membaca: “Dzahaba-dz Dzama’u, Wabtalati-l ‘Uruuqu wa Tsabata-l Ajru, Insya Allah”.(HR. Abu Daud 2357, Ad-Daruquthni dalam sunannya 2279, Al-Bazzar dalam Al-Musnad 5395, dan Al-Baihaqi dalam As-Shugra 1390. Hadis ini dinilai hasan oleh Al-Albani).
Jadi, dari hadits diatas bisa kita ketahui bahwa doa mau buka puasa yang benar sebagaimana sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut :
ذَهَبَ الظَّمَـأُ، وابْــتَلَّتِ العُرُوقُ، وثَــبَتَ الأَجْرُ إِن شَاءَ اللهُ
Dzahaba-dz Dzoma’u, Wabtalati-l ‘Uruuqu wa Tsabata-l Ajru, Insyaa Allah
Artinya : "Telah hilang dahaga, urat-urat telah basah, dan telah diraih pahala, insya Allah".
Nah, kesimpulan yang dapat kita ambil dari pembahasan kali ini adalah lafadz manakah yang seharusnya kita amalkan?
Sebagai orang awam kita pasti tidak mengetahui hadits tentang doa tersebut, apakah doa itu sesuai hadits shahih ataukah dhaif, karena memang kebanyakan orang tua dan guru kita tidak mengajari hal tersebut, mereka hanya fokus ke lafadz doanya saja.
Namun bukan berarti kita bisa menyalahkan orang tua atau guru yang telah mengajari kita doa buka puasa menggunakan lafadz pertama, karena mungkin saja mereka hanya mengajarkan apa yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat kita.
Jadi, semua keputusan berada pada diri kita masing-masing, tetap menggunakan lafadz pertama, atau beralih ke lafadz kedua. Dan untuk lebih meyakinkan diri Anda, lebih baik Anda menanyakan hal ini kepada orang yang lebih paham syariat, misalnya ustadz ataupun kyai. Semoga bermanfaat.