Sempat viral video seorang wanita yang tiba-tiba diangkat pria beramai-ramai, dikenal dengan sebutan kawin tangkap. Salah satu korban, Citra menceritakan kronologis peristiwa mencekam itu.
Para pejabat Pemerintah Daerah Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur, menandatangani kesepakatan untuk dengan tegas menolak praktik 'kawin tangkap'. Hal tersebut dilakukan demi memberikan perlindungan perempuan dan anak.
Kesepakatan itu dibuat setelah viralnya video yang memperlihatkan seorang perempuan di Sumba dibawa secara paksa oleh sekelompok pria.
Kejadian itu adalah salah satu rangkaian praktik yang dikenal masyarakat setempat dengan sebutan 'kawin tangkap', atau penculikan untuk perkawinan.
Menanggapi video itu, pemerintah melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menyatakan prihatin atas kejadian tersebut.
Kemudian, dia berkunjung ke Sumba pada minggu lalu untuk membahas permasalahan praktik itu. Ia menyebut hal itu sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan mengatasnamakan budaya.
Sejumlah pegiat perempuan mendorong pemerintah daerah untuk tegas merespon praktik 'kawin tangkap'.
Lantaran hal itu dianggap sebagai bentuk ketidakadilan yang berlapis bagi perempuan dan juga menimbulkan stigma bagi korban yang berhasil keluar dari 'kawin tangkap' tersebut.
Sementara itu, pengamat budaya menjelaskan hingga saat ini perdebatan terus berlanjut tentang asal-usul praktik tersebut. Ketidaktegasan untuk menghentikannya dianggap memicu kejadian itu terulang.
Citra : 'Saya tidak punya kekuatan'
Citra, bukan nama sebenarnya, menceritakan kisahnya saat ia jadi korban 'kawin tangkap' yang dialami saat tinggal di Kabupaten Sumba Tengah pada 2017.
Ia menceritakan bahwa dirinya ditangkap dan ditahan selama berhari-hari oleh pihak keluarga yang menginginkannya menjadi menantu.
Pada Januari 2017, Citra bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat setempat dan diminta ikut rapat oleh pihak yang ia sebut janggal dari keseharian tugasnya.
Meski demikian, ia memenuhi tanggung jawabnya untuk menghadiri pertemuan tersebut.
Sekitar satu jam setelah pertemuan itu berjalan, Citra mengatakan bahwa mereka minta untuk berpindah lokasi rapat.
Citra mengiyakan dan hendak menghidupkan mesin motornya. Namun tiba-tiba, datang sejumlah orang tiba-tiba mengangkat dan membawanya menuju mobil.
Citra yang saat itu berusia 28 tahun tersebut menjerit dan meronta-ronta minta tolong serta berusaha mencoba melepaskan diri.
"Tapi, saat itu ada dua orang yang memegang saya di belakang (mobil). Saya tidak punya kekuatan," tuturnya sambil mengingat kejadian itu kepada BBC News Indonesia melalui telepon, Senin (6/7/2020).
Dalam perjalanan, ia mengirimkan SMS kepada keluarga dan pacarnya saat itu untuk mengatakan bahwa ia dibawa lari.
"Sampai di rumah pelaku, sudah banyak orang, sudah pukul gong, pokoknya [menjalankan] ritual yang sering terjadi ketika orang Sumba bawa lari perempuan," jelas Citra.
BACA JUGA
Viral! Rombongan Pesepeda Wanita di Aceh Dikecam karena Langgar Syariat Islam
Ritual dan rayuan
Ia mengatakan, ia terus melawan dan berusaha untuk mengelak dari ritual-ritual penyiraman air di dahi. Ritual itu dianggap dapat membantu menenangkan perempuan yang ditangkap.
"Saya naik ke pintu rumah adat mereka, biasa ada ritual siram air. Kalau istilah orang Sumba, ketika disiram air, kita tidak bisa kembali, tidak bisa turun lagi dari rumah tersebut. Tapi, karena saya masih dalam keadaan sadar saat itu, air tidak kena di dahi, tapi kena di kepala."
"Terus saya tetap dibawa masuk ke rumah. Di situ saya protes, saya menangis, saya banting diri, kunci (motor) yang saya pegang saya tikam di perut saya sampai memar. Saya hantam kepala saya di tiang-tiang besar rumah, maksudnya supaya mereka kasihan dan mereka tahu saya tidak mau," kata Citra.
Ia menambahkan, pihak pelaku mengatakan bahwa mereka melakukan hal tersebut karena sayang kepada Citra.
Hal itu dibantah oleh Citra yang menganggap perlakuan itu salah dan kejam. Segala upaya dan rayuan dilakukan demi mendapatkan persetujuan Citra dan pihak keluarganya.
"Saya menangis sampai tenggorokan saya kering. Mereka berusaha memberi air, tapi saya tidak mau," tutur wanita yang kini berusia 31 tahun itu.
"Kalau orang Sumba, karena saya biasa dengar, kalau orang dibawa lari begitu, karena masih banyak yang percaya istilah magic - jadi kalau kita minum air, atau makan nasi pada saat itu, kita bisa, walaupun kita mau nangis setengah mati bilang tidak mau - saat kita kena magic kita bisa bilang iya."
Lanjut beberapa hari, Citra masih menolak untuk makan dan minum sedikitpun. "Karena terus menangis sepanjang malam, tidak tidur, saya rasa benar-benar sudah mau mati," katanya.
Kemudian, tak disangka adik Citra datang membawakan makan dan minum sambil proses negosiasi berdasarkan adat berjalan. Akhirnya pada hari keenam, keluarga Citra, didampingi pihak pemerintah desa dan LSM, berhasil membawa Citra kembali pulang.
Salah satu pegiat perempuan, Aprissa Taranau, Ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (PERUATI) Sumba menanggapi adanya praktik 'kawin tangkap' ini.
"Kawin tangkap ini hanya menghasilkan kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan, secara fisik, seksual, psikis, belum lagi stigma kalau ia keluar dari perkawinan yang dia tidak inginkan.
"Begitu berlapis 'pemerkosaan', dalam tanda kutip, yang dialami oleh perempuan, sehingga hal ini harus dihentikan karena sangat mencederai kemanusiaan, harkat dan martabat perempuan," kata Aprissa melalui telepon, Selasa (7/7/2020).
Sungguh praktik yang sangat kejam dan sangat melecehkan perempuan. Hingga kini masih diperdebatkan asal usul praktik yang disebut-sebut sebagai budaya.
Sudah seharusnya budaya mengangkat derajat kelompok manusia yang melakukan kebiasaan bersama itu. Bukan malah menjatuhkan harkat dan martabat apalagi memosisikan seorang wanita seperti tak berharga.