Tidak akan menyangka panggilan telepon yang diterimanya itu menjadi kabar yang memilukan bagi zulkarnain idros yang sehari-hari menjadi pengemudi taksi.
Panggilan yang diterimanya dari petugas Universitas Pertahanan Nasional Malaysia yang menjadi tempat anak laki-lakinya, Zulfarhan Osman menimba ilmu untuk menggapai impiannya menjadi seorang angkatan laut.
“Anak Anda telah meninggal,” ujar petugas di telepon kepada Zulkarnain.
Suasana seketika menjadi hening.
“Apa yang terjadi?”
“Anak Anda meninggal terbakar,” begitu jawab suara di ujung telepon.
Ketika Hawa Osman, istri Zukarnain yang berusia 54 tahun mendengar berita tersebut, air matanya langsung membanjiri wajahnya. “Allah, anak saya…”
“Anak Anda telah meninggal,” ujar petugas di telepon kepada Zulkarnain.
Suasana seketika menjadi hening.
“Apa yang terjadi?”
“Anak Anda meninggal terbakar,” begitu jawab suara di ujung telepon.
Ketika Hawa Osman, istri Zukarnain yang berusia 54 tahun mendengar berita tersebut, air matanya langsung membanjiri wajahnya. “Allah, anak saya…”
Menurut laporan berita, Zulfarhan diduga disiksa oleh sekelompok rekan-rekannya dari 21 hingga 22 Mei 2017 karena dituduh mencuri laptop.
Zulfarhan disiksa menggunakan setrika uap yang lalu ditekan-tekan dan digosokkan di sepanjang bagian tubuh serta badannya. Sabuk, selang karet, dan gantungan baju juga digunakan untuk menyiksanya.
Seperti yang dikutip dari style.tribunnews.com, Bagi orangtua, perasaan awal saat melihatnya begitu menegangkan dan luar biasa menyakitkan. Seperti yang Hawa jelaskan, "Ketika mereka pertama kali membawa kami masuk untuk mengidentifikasinya, kami hanya ditunjukkan mukanya."
Hawa mengatakan hal ini dengan tangan di dadanya, menerangkan bagian tubuh Zulfarhan yang sudah dibuka semuanya.
"Kami meminta untuk melihat seluruh tubuh anak laki-laki kami," ucapnya. Saat itu, suara Hawa menjadi lebih pelan seakan rasa sakit saat berduka kembali masuk ke dalam dirinya.
Menurut laporan otopsi, 80 persen tubuh Zulfarhan terkena luka bakar.
Zulfarhan adalah seorang mahasiswa Teknik Elektro tahun ketiga yang begitu dicintai dan bertanggung jawab. Dia bermimpi menjadi seorang kapten kapal suatu hari nanti.
Namun, impiannya tersebut telah sirna. Begitu juga dengan para kesembilan belas terdakwa, yang masa depannya hampir tidak menentu. Proses pengadilan yang tanpa akhir. Masa depan karir yang cemerlang telah hancur.
Di tengah-tengah kejadian tersebut, Hawa, seorang ibu yang masih berduka tetap memiliki hati yang kukuh. "Saya harus tahu, saya dapat menerima bahwa anak saya telah meninggal, tetapi saya tidak dapat menerima cara dia meninggal.